Indonesia Kuasai 60 Persen Produksi Global, Tapi Harga Nikel Terjun Bebas: Tantangan di Balik Status Produsen Terbesar Dunia

Sabtu, 14 Juni 2025 | 07:50:17 WIB
Indonesia Kuasai 60 Persen Produksi Global, Tapi Harga Nikel Terjun Bebas: Tantangan di Balik Status Produsen Terbesar Dunia

JAKARTA - Indonesia kini mengukuhkan diri sebagai produsen nikel terbesar di dunia, dengan menguasai sekitar 60 persen total produksi global. Dominasi ini menjadi sorotan dalam laporan terbaru dari International Nickel Study Group (INSG), yang memprediksi pasar nikel global akan mengalami surplus sebesar 198.000 metrik ton pada tahun 2025.

Surplus ini dipicu oleh ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi. INSG mencatat, konsumsi nikel primer global diperkirakan hanya mencapai 3,537 juta ton, sementara produksinya melonjak hingga 3,735 juta ton. Kelebihan pasokan ini menjadi sinyal bahwa industri nikel tengah menghadapi dinamika yang kompleks: pertumbuhan produksi yang terlalu cepat, sementara permintaan belum sepenuhnya mampu mengejar.

Kebijakan Hilirisasi dan Peran Cina Dorong Produksi

Peningkatan produksi nikel Indonesia tidak lepas dari kebijakan strategis pemerintah yang melarang ekspor bijih nikel mentah sejak beberapa tahun terakhir. Larangan tersebut mendorong percepatan hilirisasi dengan membangun fasilitas pengolahan mineral di dalam negeri. Teknologi seperti High-Pressure Acid Leach (HPAL) dan nickel pig iron (NPI) telah diadopsi secara luas, mendongkrak kapasitas produksi nasional secara signifikan.

Menurut laporan dari situs industri pertambangan, pembangunan proyek-proyek besar yang dimulai sejak 2023 dan diproyeksikan rampung hingga akhir 2025 menjadi pendorong utama lonjakan produksi, yang meningkat dari 3,363 juta ton pada 2023 menjadi 3,735 juta ton pada tahun ini – kenaikan sekitar 11,1 persen dalam dua tahun.

Tak bisa dipungkiri, perusahaan-perusahaan asal Tiongkok memainkan peran dominan dalam ekspansi industri nikel Indonesia. Mereka tidak hanya menjamin pasokan bijih, tapi juga membangun smelter dan fasilitas pengolahan terintegrasi yang berskala besar.

“Pertumbuhan kapasitas yang didorong oleh investasi Cina bahkan melampaui banyak perkiraan awal industri,” tulis laporan tersebut.

Konsumsi Meningkat, Tapi Belum Seimbang

Meski konsumsi nikel global terus tumbuh dari 3,193 juta ton (2023) menjadi 3,347 juta ton (2024) dan diproyeksikan 3,537 juta ton (2025), peningkatan tersebut belum mampu menyaingi laju produksi. Dalam tiga tahun terakhir, konsumsi hanya tumbuh sekitar 10,8 persen—lebih rendah dibanding lonjakan produksi.

Baja tahan karat, sektor penyerap utama nikel, mencatat pertumbuhan stabil sekitar 4–5 persen per tahun, didorong oleh pembangunan infrastruktur di negara berkembang. Sementara itu, permintaan dari sektor baterai kendaraan listrik tumbuh lebih cepat, mencapai 15–20 persen per tahun. Namun, transisi teknologi mulai menahan potensi konsumsi dari sektor ini.

“Tren penggunaan baterai lithium iron phosphate (LFP), yang minim nikel, di kendaraan listrik di Tiongkok menjadi faktor penahan permintaan nikel,” ungkap laporan tersebut.

Harga Nikel Tertekan, Turun ke Titik Terendah Sejak 2020

Laporan World Bank Commodity Markets Outlook edisi April 2025 memperkuat gambaran tantangan sektor ini. Bank Dunia memprediksi harga nikel akan turun 6 persen sepanjang 2025, setelah terkoreksi 2 persen di kuartal pertama. Penurunan ini menyeret harga ke level terendah sejak 2020.

“Dua faktor utama memicu penurunan harga: lonjakan pasokan global—khususnya dari Indonesia—dan melemahnya permintaan dari sektor baterai kendaraan listrik,” tulis laporan Bank Dunia.

Surplus pasokan menciptakan tekanan besar terhadap harga, membuat pelaku industri dihadapkan pada situasi dilematis. Di satu sisi, Indonesia berhasil menarik investasi besar-besaran dan meningkatkan daya saing produksi; di sisi lain, oversupply menimbulkan kekhawatiran atas keberlanjutan profitabilitas.

Pemerintah Indonesia Bersiap Rem Produksi

Menyadari dampak jangka panjang dari surplus ini, pemerintah Indonesia mulai menyusun langkah-langkah pengendalian produksi. Salah satu strategi yang mulai diterapkan adalah pengenaan kuota pertambangan demi menjaga stabilitas harga di pasar global.

“Bank Dunia mengingatkan bahwa laju pertumbuhan produksi nasional kemungkinan akan melambat dalam waktu dekat, seiring dengan diterapkannya kuota oleh pemerintah,” ungkap laporan tersebut.

Langkah ini dianggap sebagai respons untuk menghindari efek negatif dari siklus super komoditas yang dapat menciptakan fluktuasi ekstrem pada sektor-sektor berbasis sumber daya.

Kepemimpinan dengan Risiko

Menjadi produsen nikel terbesar dunia memberi Indonesia posisi strategis di pasar global. Namun, dominasi ini juga membawa tantangan besar: menjaga keseimbangan antara produksi, permintaan, dan harga. Apalagi, sorotan terhadap praktik keberlanjutan dan isu tenaga kerja dalam industri ini terus meningkat, terutama dari mitra dagang seperti Amerika Serikat.

Dalam lanskap global yang berubah cepat, Indonesia perlu memastikan bahwa ekspansi industri nikel tidak hanya berorientasi pada volume produksi, tetapi juga keberlanjutan, nilai tambah dalam negeri, dan perlindungan sosial-lingkungan. Dengan begitu, status sebagai raja nikel dunia bisa menjadi kekuatan ekonomi jangka panjang, bukan sekadar ledakan sesaat.

Terkini

Menikmati Beragam Menu Lezat Marugame Udon di Indonesia

Selasa, 09 September 2025 | 16:26:18 WIB

Chocolate Bingsu, Dessert Segar Favorit Anak Muda Indonesia

Selasa, 09 September 2025 | 16:26:16 WIB

4 Spot Burnt Cheesecake Paling Lezat di Malang

Selasa, 09 September 2025 | 16:26:14 WIB

Menikmati Gelato Jogja: Ragam Rasa yang Menggoda Lidah

Selasa, 09 September 2025 | 16:26:12 WIB

Little Salt Bread Viral: 4 Menu Best Seller Wajib Coba

Selasa, 09 September 2025 | 16:26:10 WIB