JAKARTA - Pemerintah Indonesia kembali menjadi sorotan publik setelah mencabut izin operasional empat perusahaan tambang nikel yang beroperasi di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya. Keputusan ini diambil sebagai respons atas meningkatnya kekhawatiran masyarakat dan aktivis lingkungan terhadap kerusakan ekologi di “Surga Terakhir di Bumi” tersebut.
Raja Ampat dikenal sebagai rumah bagi sekitar 75 persen spesies terumbu karang dunia dan ribuan jenis biota laut endemik yang menjadikannya destinasi wisata utama bagi wisatawan lokal maupun internasional. Namun, sejak beberapa tahun terakhir, aktivitas tambang nikel yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan telah memicu kritik keras karena diduga merusak lingkungan dan mengancam kelestarian kawasan konservasi.
Empat perusahaan yang izin operasionalnya dicabut oleh pemerintah antara lain PT Anugerah Surya Pratama, PT Emas Mineral Murni, PT Trimegah Bangun Persada, dan PT Puncak Mineral Sejahtera. Menurut Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, izin operasi dicabut karena sebagian besar perusahaan belum menyerahkan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB).
“Keputusan mencabut izin operasional ini diambil setelah evaluasi menyeluruh. Empat perusahaan tersebut tidak memenuhi kewajiban administratif yang menjadi syarat keberlangsungan operasional,” kata Bahlil saat memberikan keterangan resmi, Kamis, 19 Juni 2025. “Namun, PT Gag Nikel, yang merupakan perusahaan BUMN di bawah Antam, masih beroperasi karena dinilai taat aturan dan menerapkan praktik tambang bertanggung jawab berdasarkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).”
Langkah cepat pemerintah mendapat apresiasi luas, terutama dari kalangan masyarakat dan media, yang menilai ini sebagai bukti keseriusan pemerintah dalam menangani isu lingkungan di Raja Ampat. Presiden Prabowo Subianto pun memimpin rapat terbatas yang berujung pada keputusan pencabutan izin tersebut.
Namun, pencabutan izin operasional bukan berarti persoalan selesai begitu saja. Kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang yang sudah berjalan tetap meninggalkan luka. Laporan dari Greenpeace Indonesia dan sejumlah LSM mengungkap adanya tumpukan tanah galian, pembukaan lahan besar-besaran, sedimentasi yang terbawa ke laut, dan dampak sosial ekonomi pada masyarakat lokal yang selama ini bergantung pada ekosistem laut.
“Meski izin sudah dicabut, jejak kerusakan ekologis yang ditinggalkan tidak bisa diabaikan. Kegiatan persiapan tambang dan eksplorasi saja sudah cukup mengganggu keseimbangan alam yang rapuh di Raja Ampat,” jelas seorang aktivis lingkungan yang meminta namanya tidak disebutkan.
Kritik juga datang dari berbagai kalangan yang menolak keberadaan tambang di kawasan seindah dan sepenting Raja Ampat. Mereka berpendapat, tidak ada model tambang yang benar-benar ramah lingkungan, apalagi di wilayah pesisir dan pulau kecil yang kaya keanekaragaman hayati.
Dilema antara kebutuhan ekonomi dan konservasi lingkungan pun menjadi perdebatan panjang. Indonesia, sebagai pemasok nikel utama untuk bahan baku baterai kendaraan listrik global, harus memenuhi target hilirisasi mineral yang menjadi prioritas nasional. Namun, pertanyaannya adalah, “Apakah harga kemajuan industri harus mengorbankan warisan alam yang tak ternilai?”
Penulis dan pengamat kebijakan publik menyarankan agar pencabutan izin ini bukan hanya solusi sementara, melainkan langkah awal menuju kebijakan jangka panjang yang tegas. Pertama, Raja Ampat harus ditetapkan sebagai zona bebas tambang permanen untuk melindungi keanekaragaman hayati dan kelangsungan ekosistemnya.
“Kedua, pemerintah wajib melakukan audit lingkungan menyeluruh untuk mengukur dampak kerusakan yang sudah terjadi dan menyusun rencana pemulihan secara transparan,” kata penulis yang juga mahasiswa ilmu administrasi negara. “Ketiga, penerapan transparansi yang ketat menjadi kunci agar publik dapat mengawasi proses pemulihan dan memastikan tidak ada lagi eksploitasi ilegal.”
Tuntutan publik semakin kuat agar pemerintah tidak hanya memberikan klarifikasi lisan, melainkan juga menunjukkan tindakan nyata. Masa depan ekologi, kesejahteraan masyarakat lokal, dan reputasi Indonesia di kancah internasional dipertaruhkan dalam keputusan-keputusan yang akan diambil ke depan.
“Kerusakan Raja Ampat bukan hanya soal tambang atau pendapatan negara, melainkan soal menjaga kelestarian warisan dunia bagi generasi mendatang,” tutup narasumber dari kalangan lingkungan.