Film Animasi Jumbo Dorong Perkembangan Industri Animasi Indonesia

Jumat, 20 Juni 2025 | 12:20:17 WIB
Film Animasi Jumbo Dorong Perkembangan Industri Animasi Indonesia

JAKARTA - Film animasi Indonesia Jumbo mencetak rekor sebagai film terlaris di Tanah Air pada 2025, membuka peluang besar sekaligus tantangan dalam mengembangkan industri animasi lokal. Sejak penayangan perdananya pada 31 Maret hingga 9 Juni 2025, Jumbo berhasil menarik lebih dari 10,15 juta penonton dan mengumpulkan pendapatan domestik sebesar 23,7 juta dolar AS atau sekitar Rp 252,8 miliar. Kesuksesan ini menempatkan Jumbo di posisi teratas, mengalahkan film horor KKN di Desa Penari dan film komedi Agak Laen.

Setelah menaklukkan pasar dalam negeri, Jumbo kini telah siap menembus pasar internasional. Film ini dijadwalkan tayang di 17 negara di Asia Tengah dan Eropa, termasuk Rusia, Belarus, Ukraina, dan Kazakhstan. Wakil Menteri Ekonomi Kreatif, Irene Umar, mengumumkan di akun media sosialnya bahwa mulai 5 Juni 2025, Jumbo sudah tayang di Rusia, Belarus, Uzbekistan, dan Kirgistan, serta akan menyusul di Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura pada 26 Juni 2025. Secara total, 32 negara telah mengonfirmasi akan menayangkan film ini.

Menurut Daryl Wilson, Ketua Umum Asosiasi Industri Animasi dan Konten Indonesia (Ainaki), kesuksesan Jumbo bukan semata karena kualitas animasi 3D yang apik, tetapi juga karena keterlibatan komunitas, artis, penyanyi, serta investor. “Jumbo berhasil mencetak jumlah penonton dan pendapatan tinggi karena menawarkan narasi dan visualisasi tiga dimensi yang apik. Keberhasilan ini menjadi momentum untuk meningkatkan ekosistem industri film animasi dalam negeri,” ujar Wilson.

Namun, Wilson juga menyoroti sejumlah tantangan yang masih dihadapi industri animasi Indonesia. Di antaranya adalah kurangnya investasi untuk biaya produksi yang besar, kreativitas cerita, serta pengembangan karakter yang kuat dan melekat. “Secara bisnis, industri animasi memang berisiko karena membutuhkan waktu lama dan biaya produksi tinggi. Ini yang menjadi pertimbangan investor,” jelasnya.

Sebelum Jumbo, industri animasi Indonesia sudah mencatat beberapa pencapaian. Film animasi layar lebar Battle of Surabaya (2015) yang diproduksi oleh MSV Pictures dan Amikom University, misalnya, berhasil menarik 70.000 penonton dan meraih sejumlah penghargaan internasional. Film ini mengangkat cerita sejarah Pertempuran Surabaya 10 November 1945 dan memperoleh People Choice Award di International Movie Trailer Festival 2013 serta penghargaan di Milan International Filmmaker Festival 2017.

Dari segi produksi, Jumbo adalah hasil kerja keras selama lima tahun dengan melibatkan lebih dari 420 animator lokal. Meski memakan waktu lama, Jumbo mampu menekan anggaran produksi di bawah 2 juta dolar AS atau sekitar Rp 30 miliar. Sutradara Ryan Adriandhy membandingkan anggaran ini dengan film Inside Out 2 dari Disney Pixar yang menghabiskan biaya hingga 200 juta dolar AS. “Jumbo dibuat dengan anggaran jauh lebih kecil, tetapi mampu menghasilkan kualitas yang kompetitif,” kata Ryan.

Industri animasi Indonesia memiliki potensi besar dengan pertumbuhan signifikan. Menurut laporan Indonesia Animation Report 2020, sektor ini tumbuh 153 persen selama periode 2015-2019 dengan pendapatan mencapai Rp 602,75 miliar pada 2019. Namun, banyak pekerja animasi Indonesia akhirnya berkarya di luar negeri seperti Malaysia, Amerika Serikat, dan Singapura karena terbatasnya peluang proyek prestisius dalam negeri.

Wilson menambahkan, sebagian besar pendapatan industri animasi Indonesia saat ini masih berasal dari jasa servis animasi, baik domestik maupun ekspor ke negara seperti AS, Korea Selatan, Jepang, dan Inggris. “SDM kita jago dan kreatif, tapi mereka sering bekerja di proyek luar negeri karena kurangnya kesempatan di dalam negeri,” ujarnya.

Selain masalah investasi dan SDM, storytelling atau narasi juga menjadi tantangan utama. Wilson menekankan bahwa tanpa cerita yang kuat, kualitas grafis dan animasi terbaik sekalipun tidak akan mampu menghidupkan film. “Kita perlu penulis dan sutradara yang mengerti storytelling. Film animasi melibatkan multidisiplin, jadi animator harus bekerja sama erat dengan penulis cerita,” katanya.

Pendiri Animasi Club, Hizkia Subiyantoro, turut menyoroti pentingnya cara penyampaian cerita yang efektif. “Tidak cukup hanya punya ide bagus, tapi juga harus bisa menyampaikan cerita dengan cara yang deskriptif dan sinematik. Penonton ingin melihat aksi, bukan hanya diberi tahu,” ujarnya. Hizkia juga mendirikan festival film animasi internasional Craft International Animation Festival sebagai ruang kurasi, edukasi, dan pertukaran ide antar sineas lokal dan global.

Menurut Hizkia, festival seperti ini membantu membangun karakter tokoh yang kuat dan storytelling yang menyentuh audiens global. “Film Indonesia umumnya masih kurang cerita yang berbasis pengalaman nyata. Film seperti Jumbo berhasil karena ceritanya bisa relate dengan penonton regional dan memiliki pandangan global,” tambahnya.

Dengan momentum dari keberhasilan Jumbo, harapan besar muncul agar investor semakin percaya dan talenta lokal lebih banyak diberi ruang untuk berkembang. Jika dukungan ini terwujud, industri animasi Indonesia tidak hanya akan terus tumbuh di dalam negeri, tetapi juga menembus pasar internasional dengan karya-karya berkualitas dan berdaya saing global.

Terkini

Menikmati Beragam Menu Lezat Marugame Udon di Indonesia

Selasa, 09 September 2025 | 16:26:18 WIB

Chocolate Bingsu, Dessert Segar Favorit Anak Muda Indonesia

Selasa, 09 September 2025 | 16:26:16 WIB

4 Spot Burnt Cheesecake Paling Lezat di Malang

Selasa, 09 September 2025 | 16:26:14 WIB

Menikmati Gelato Jogja: Ragam Rasa yang Menggoda Lidah

Selasa, 09 September 2025 | 16:26:12 WIB

Little Salt Bread Viral: 4 Menu Best Seller Wajib Coba

Selasa, 09 September 2025 | 16:26:10 WIB