Petani Sawit di Kutai Kartanegara Terancam Kehilangan Lahan Setelah 12 Tahun Mengelola

Selasa, 01 Juli 2025 | 10:50:28 WIB
Petani Sawit di Kutai Kartanegara Terancam Kehilangan Lahan Setelah 12 Tahun Mengelola

JAKARTA - Di balik geliat ekonomi perkebunan kelapa sawit di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, tersimpan kisah pelik yang membelit petani swadaya. Selama lebih dari satu dekade, Stepanus telah mengelola lahan sawit seluas 5,26 hektare di Desa Long Beleh Modang. Namun, baru-baru ini, ia dihadapkan pada ancaman pengosongan lahan yang selama ini menjadi sumber penghidupannya.

Langkah perusahaan tambang batu bara PT Rencana Mulia Baratama (RMB) yang mengklaim lahan tersebut sebagai bagian dari Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) memicu konflik yang serius. Surat pemberitahuan tertanggal 19 Juni 2025 dari perusahaan menyatakan rencana land clearing di lahan yang sudah dikelola Stepanus sejak 2004, dan ditanami sawit sejak 2013. Tidak hanya surat, spanduk besar berisi pengumuman pengosongan lahan pun dipasang di tengah kebun sawit, memberi peringatan keras bahwa membuka lahan tanpa izin di kawasan hutan bisa dikenakan sanksi pidana sesuai UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999.

Stepanus mengaku sangat terkejut dan merasa dirugikan dengan cara perusahaan menyikapi persoalan ini. “Saya mengelola lahan ini sejak 2004, mulai dari menanam padi sampai kemudian menanam sawit tahun 2013. Saya bersihkan sendiri, tanami sendiri, rawat sendiri. Tidak pernah ada pemberitahuan bahwa ini kawasan perusahaan atau hutan negara. Sekarang tiba-tiba disuruh keluar hanya lewat surat dan spanduk? Rasanya tidak adil,” ujarnya.

Kondisi tersebut menjadi cerminan kompleksitas masalah agraria yang dihadapi banyak petani lokal di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan klaim lahan oleh korporasi besar. Ketua Forum Petani Sawit Belayan (FPSB), Jamaluddin, mengecam cara PT RMB dalam menyampaikan permintaan pengosongan lahan. Menurutnya, langkah yang diambil perusahaan dengan memasang spanduk dan memberi tenggat waktu tiga hari tanpa dialog terlebih dahulu merupakan intimidasi dan pengabaian hak-hak dasar petani.

“Ini bukan hanya soal legalitas. Ini menyangkut hak dasar atas tanah, atas penghidupan, dan hak untuk didengar. Surat dan spanduk itu menunjukkan sikap sepihak yang mengabaikan hak-hak kemanusiaan petani,” kata Jamaluddin. Ia juga menegaskan bahwa petani seperti Stepanus tidak dapat disamakan dengan perambah liar karena mereka merupakan warga lokal yang telah hidup dan menggantungkan hidupnya pada tanah tersebut selama bertahun-tahun.

Situasi ini memperlihatkan kesenjangan yang kerap terjadi antara regulasi formal dan realitas di lapangan. Pemerintah daerah telah berupaya mendukung petani dengan program pelatihan dan penguatan kelembagaan, namun tantangan utama tetap pada persoalan kepemilikan lahan dan klaim dari perusahaan besar. Kepala Desa Muai, Ali Husni, yang wilayahnya juga terdampak sengketa ini, berkomitmen untuk mengawal dan memperjuangkan hak petani agar bisa mempertahankan lahan mereka.

“Kita akan coba upaya-upaya yang memungkinkan agar kawasan yang sudah terlanjur ditanami warga itu bisa dipulihkan statusnya dari Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK),” jelas Ali Husni. Ia pun menyadari bahwa sebagian besar warga kurang memahami aturan yang berlaku di wilayah KBK sehingga tidak mengetahui risiko yang mereka hadapi.

Meski demikian, Ali Husni berharap permasalahan ini dapat diselesaikan secara kekeluargaan tanpa merugikan masyarakat. “Kita berharap agar ada jalan keluar yang adil bagi masyarakat. Karena bagaimana pun dari perkebunan itu masyarakat menggantungkan hidup,” tambahnya.

Kasus yang dialami Stepanus ini bukanlah hal yang mudah diselesaikan secara sepihak. Diperlukan pendekatan menyeluruh yang melibatkan dialog terbuka antara petani, perusahaan, dan pemerintah untuk mencari solusi yang mengakomodasi kepentingan semua pihak. Selain itu, penegakan hukum yang adil dan transparan menjadi kunci agar hak-hak masyarakat tidak terabaikan.

Dalam konteks yang lebih luas, konflik agraria seperti ini berpotensi menghambat keberlanjutan sektor perkebunan sawit yang sebenarnya menjadi andalan ekonomi daerah. Jika tidak ditangani dengan hati-hati, hal ini bisa memperparah ketimpangan sosial dan ketidakpastian hukum bagi petani kecil.

Hanya melalui sinergi yang harmonis antara pemerintah, perusahaan, dan komunitas petani, masa depan yang lebih baik bagi industri sawit dan kesejahteraan masyarakat di Kutai Kartanegara dapat terwujud. Dengan pengakuan yang layak atas hak petani dan penyelesaian sengketa lahan secara adil, sektor perkebunan sawit bisa terus berkembang tanpa mengorbankan nasib warga yang telah lama berjuang di atas tanah tersebut.

Terkini

Harga HP Infinix Terbaru September 2025 Semua Seri

Rabu, 10 September 2025 | 16:22:14 WIB

POCO C85 Resmi Masuk Indonesia, Baterai Besar 6000mAh

Rabu, 10 September 2025 | 16:22:12 WIB

Ramalan Shio 11 September 2025: Energi Positif Tiap Shio

Rabu, 10 September 2025 | 16:22:11 WIB

Harga Sembako Jatim Hari Ini: Cabai dan Bawang Naik

Rabu, 10 September 2025 | 16:22:10 WIB

Cek Penerima Bansos PKH BPNT 2025 Mudah Cepat

Rabu, 10 September 2025 | 16:22:09 WIB