JAKARTA - Memasuki musim panen tembakau tahun ini, petani di Kabupaten Bojonegoro harus menghadapi tantangan berat. Harga jual daun tembakau yang terus menurun tajam menjadi masalah utama yang merugikan banyak petani, terutama di Desa Drokilo, Kecamatan Kedungadem. Kondisi ini diperparah oleh faktor cuaca yang tidak bersahabat, yakni kemarau basah yang menyebabkan banyak tanaman gagal panen.
Suji, seorang petani tembakau di Drokilo, menyampaikan keluhannya terkait penurunan harga daun tembakau bagian bawah yang sangat signifikan dibandingkan tahun lalu. Harga yang hanya mencapai Rp1.500 per kilogram jauh lebih rendah dari harga tahun sebelumnya yang mampu menembus Rp2.500 per kilogram. Penurunan harga ini menyebabkan pendapatan petani menyusut dan memengaruhi keberlanjutan usaha tani tembakau mereka.
“Di tahun ini jelek. Harganya tidak seperti tahun lalu. Tahun kemarin daun bawah bisa Rp 2.500 per kilo, sekarang cuma Rp 1.500,” ungkap Suji.
Tak hanya daun bagian bawah, harga tembakau rajangan juga mengalami penurunan yang cukup besar. Jika tahun sebelumnya tembakau rajang mampu dijual hingga Rp50 ribu per kilogram, maka kini harganya hanya berada pada kisaran Rp20 ribu hingga Rp30 ribu per kilogram saja. Penurunan ini menjadi beban tambahan bagi para petani yang mengandalkan tembakau sebagai sumber penghasilan utama.
Dampak Cuaca dan Upaya Pemerintah untuk Petani Tembakau
Selain masalah harga, cuaca menjadi faktor kunci yang memengaruhi hasil panen tembakau di Bojonegoro tahun ini. Meski sudah memasuki musim kemarau, curah hujan yang tinggi masih terjadi sehingga menimbulkan kondisi yang tidak ideal bagi pertumbuhan tanaman tembakau. Akibatnya, sebagian besar petani di Kedungadem mengalami penurunan hasil panen yang cukup signifikan, mencapai sekitar 40 persen dibandingkan musim panen tahun lalu.
Suji menjelaskan, “Untuk hasil panen di daerah saya, Kedungadem, turun sekitar 40 persen.”
Menanggapi kondisi tersebut, Kepala Bidang Sumber Daya Manusia dan Pembiayaan Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Bojonegoro, Zainul Ma’arif, menjelaskan bahwa pihaknya sudah memberikan informasi sejak awal tahun kepada para petani terkait potensi kemarau basah yang diperkirakan terjadi pada tahun 2025. Sosialisasi ini dilakukan melalui petugas penyuluh lapangan (PPL) dengan tujuan memberikan pemahaman agar petani dapat mengantisipasi risiko yang akan dihadapi.
“Melalui petugas penyuluh lapangan (PPL), kami sudah sosialisasikan bahwa tahun ini adalah musim kemarau basah. Maka dari itu, kami tidak merekomendasikan petani untuk menanam tembakau,” jelas Zainul.
Selain memberikan sosialisasi, DKPP juga berupaya meringankan beban petani dengan menyalurkan bantuan berupa pupuk dan mesin perajang tembakau. Bantuan ini diharapkan dapat membantu petani mengurangi dampak kerugian yang dialami akibat turunnya hasil dan harga panen tembakau.
Bantuan yang disalurkan antara lain berupa 525 ton pupuk NPK, 65 ton pupuk KNO, serta mesin perajang tembakau. Dukungan ini menjadi salah satu langkah nyata pemerintah dalam menjaga produktivitas petani meskipun dalam kondisi yang penuh tantangan.
Tantangan Berat Petani Tembakau Bojonegoro
Turunnya harga dan hasil panen tembakau yang terjadi pada musim ini menimbulkan tekanan besar bagi para petani. Dengan harga daun tembakau bagian bawah yang turun hingga hampir 40 persen dan tembakau rajangan yang merosot hingga lebih dari separuh dari harga tahun sebelumnya, pendapatan petani sangat terdampak. Ditambah lagi dengan kerugian akibat gagal panen yang disebabkan oleh curah hujan yang tidak menentu, kondisi ini memaksa para petani untuk berpikir ulang terkait keberlanjutan usaha tani tembakau.
Keluhan petani seperti Suji mencerminkan realitas yang dialami di lapangan, bahwa musim panen kali ini bukan hanya soal hasil yang berkurang, tapi juga tentang kesejahteraan yang terus menurun.
Dengan kondisi ini, dukungan dari pemerintah melalui sosialisasi dan bantuan pupuk serta alat menjadi sangat penting untuk membantu petani bertahan. Namun, tantangan cuaca dan fluktuasi harga pasar yang sulit diprediksi tetap menjadi ancaman utama yang harus dihadapi oleh petani tembakau di Bojonegoro.