Tantangan Panas Bumi dalam Mendorong Transisi Energi Indonesia

Kamis, 17 Juli 2025 | 07:37:23 WIB
Tantangan Panas Bumi dalam Mendorong Transisi Energi Indonesia

JAKARTA - Energi panas bumi menyimpan potensi besar sebagai tulang punggung transisi energi terbarukan di Indonesia. Namun, meskipun manfaatnya signifikan, pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) belum sepenuhnya berjalan mulus. Berbagai tantangan, terutama dari penolakan masyarakat di beberapa lokasi, menjadi hambatan yang perlu ditangani dengan pendekatan yang lebih inklusif dan memperhatikan hak serta ruang hidup komunitas sekitar.

Potensi Besar dan Upaya Pemerintah Mempercepat Pembangunan PLTP

Sebagai negara yang dikelilingi oleh gunung berapi, Indonesia menjadi penyimpan cadangan energi panas bumi yang sangat melimpah. Data dari Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat total potensi energi panas bumi mencapai sekitar 23,7 gigawatt (GW), atau sekitar 40 persen cadangan panas bumi dunia. Jika dikonversi, potensi ini setara dengan 11 miliar barel minyak, menjadikannya sumber energi strategis yang harus dimanfaatkan secara optimal.

Namun sampai akhir tahun 2024, kapasitas pembangkit listrik tenaga panas bumi yang beroperasi baru sekitar 2.638,8 megawatt (MW), yang berarti baru terserap sekitar 11 persen dari potensi tersebut. Pemerintah pun terus berupaya mempercepat pengembangan PLTP di berbagai daerah untuk mencapai target swasembada energi berbasis energi baru terbarukan (EBT).

Pada akhir Juni 2025, Presiden Prabowo Subianto meresmikan tiga PLTP baru dengan kapasitas total 91,9 MW dan memulai pembangunan lima PLTP lain dengan kapasitas total 260 MW. Di antara PLTP yang diresmikan adalah PLTP Ijen di Bondowoso, Jawa Timur (35 MW dari rencana 110 MW), PLTP Sorik Marapi Unit 5 di Mandailing Natal, Sumatera Utara (41,25 MW), serta PLTP Salak Binary di Jawa Barat (16,15 MW).

Pembangunan ini tidak hanya memperkuat pasokan listrik nasional tetapi juga berkontribusi pada komitmen Indonesia menuju zero carbon emission. “Mari kita teruskan sampai swasembada energi, terutama EBT, tercapai,” kata Presiden Prabowo. Dengan investasi mencapai Rp 25 triliun, proyek-proyek ini diharapkan mampu menekan ketergantungan pada energi fosil yang mahal dan berpolusi.

Hambatan Sosial dan Perlunya Pendekatan Humanis

Meski prospek panas bumi sangat menjanjikan, pengembangan PLTP tidak berjalan tanpa kendala. Di beberapa wilayah seperti Kabupaten Manggarai dan Ngada di Nusa Tenggara Timur serta Padaricang di Banten, masyarakat setempat menolak keberadaan atau perluasan PLTP. Penolakan ini terutama muncul karena kekhawatiran akan dampak lingkungan dan sosial, serta kurangnya keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.

Contohnya di Kabupaten Manggarai, warga Poco Leok menolak rencana perluasan PLTP Ulumbu. PLTP Ulumbu sendiri mulai beroperasi sejak 2011 dengan kapasitas awal 100 kilowatt yang kemudian bertambah hingga 10 MW. Namun, rencana memperluas proyek ini ke wilayah Poco Leok ditolak karena dianggap akan merusak lahan pertanian dan ruang hidup masyarakat yang selama ini dijaga dengan ketat.

Menurut Kristianus Jaret, warga Desa Mocok di Poco Leok, wilayah perbukitan tersebut juga memiliki nilai adat yang tinggi, termasuk 14 rumah gendang adat khas Manggarai yang semuanya menolak perluasan PLTP. “Kalau Ulumbu bisa menerangi dunia ini juga tidak apa-apa, yang penting ruang hidup masyarakat jangan dirampas,” ujarnya. Ia juga menyayangkan kurangnya dialog antara pengembang dan masyarakat, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan dan konflik.

Tantangan serupa juga muncul di Kabupaten Ngada, di mana proyek PLTP Mataloko yang mulai dibangun sejak 2003 belum selesai dan menimbulkan pencemaran lingkungan yang memicu ketidakpuasan masyarakat. Kondisi ini menunjukkan pentingnya keterlibatan publik secara aktif dan pengelolaan dampak lingkungan secara serius dalam setiap proyek energi panas bumi.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menjelaskan bahwa penolakan sering terjadi karena masyarakat tidak dilibatkan secara memadai atau pendekatan yang dilakukan bersifat represif. Namun, Fabby juga menambahkan bahwa terkadang penolakan bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh kehadiran PLTP, terutama jika PLTP menggantikan pembangkit listrik berbahan fosil yang selama ini menguasai wilayah tersebut.

Sementara itu, pihak PLN yang bertanggung jawab atas proyek-proyek tersebut mengaku terus berupaya menjalin komunikasi dengan masyarakat. Menurut Agradi Aryatama, Humas PLN Unit Induk Transmisi Nusa Tenggara, sebagian besar masyarakat yang menolak bukan tinggal di sekitar lokasi utama proyek. “Kami sudah berupaya komunikasi baik formal maupun non-formal, tapi sebagian yang menolak sulit ditemui,” katanya.

Energi panas bumi memang merupakan solusi energi masa depan yang ramah lingkungan dan berpotensi besar untuk mendukung ketahanan energi nasional. Namun, keberhasilan pengembangannya juga sangat bergantung pada pendekatan yang menghargai hak masyarakat dan kelestarian lingkungan. Pendekatan yang humanis dan dialog terbuka menjadi kunci agar proyek-proyek PLTP dapat diterima luas, sekaligus mewujudkan target transisi energi yang berkelanjutan dan inklusif.

Terkini