JAKARTA - Pergerakan harga minyak dunia pada Rabu, 23 Juli 2025 menunjukkan kecenderungan stabil, ditengah dinamika geopolitik dan negosiasi dagang yang kian kompleks. Fokus pelaku pasar kini tertuju pada perkembangan perundingan perdagangan antara Amerika Serikat dan Uni Eropa yang berpotensi mempengaruhi sentimen global.
Harga minyak Brent tercatat turun tipis 8 sen atau 0,12 persen ke posisi US$ 68,51 per barel. Sementara itu, West Texas Intermediate (WTI) juga melemah 6 sen atau 0,09 persen menjadi US$ 65,25 per barel.
Meski hanya mencatatkan pergerakan kecil, stabilnya harga minyak menunjukkan kehati-hatian pasar dalam merespons berbagai sinyal ekonomi dan kebijakan perdagangan internasional. Terutama setelah muncul kabar tentang kesepakatan dagang antara Amerika Serikat dan Jepang, serta potensi kesepakatan tarif baru dengan Uni Eropa.
Negosiasi AS-Uni Eropa dan Dampaknya terhadap Minyak
Pasar minyak global saat ini banyak dipengaruhi oleh ketegangan dan potensi kesepakatan dagang antara Amerika Serikat dengan mitra dagangnya, khususnya Uni Eropa dan Jepang. Uni Eropa dilaporkan tengah mengarah pada penyelesaian kesepakatan dengan Amerika Serikat yang berisi ketentuan tarif 15 persen untuk produk-produk Eropa yang masuk ke AS.
Angka tersebut masih lebih ringan dibandingkan ancaman sebelumnya berupa tarif 30 persen yang disebut-sebut akan berlaku mulai 1 Agustus mendatang. Meski begitu, dampaknya terhadap harga minyak masih terbatas karena pelaku pasar masih menunggu kejelasan lebih lanjut.
Sementara itu, Presiden AS Donald Trump beberapa jam sebelumnya mengumumkan keberhasilan kesepakatan dagang dengan Jepang. Kesepakatan tersebut mencakup pemangkasan tarif impor sektor otomotif serta janji investasi dan pinjaman senilai US$ 550 miliar dari Jepang ke Amerika Serikat.
“Kesepakatan dengan Jepang bisa menjadi template bagi kesepakatan perdagangan lain. Namun pasar masih mencemaskan kelanjutan negosiasi AS dengan Uni Eropa dan China,” ujar Presiden Lipow Oil Associates Andrew Lipow.
Di sisi lain, Komisi Eropa merespons dengan rencana pengajuan tarif balasan atas produk Amerika Serikat senilai 93 miliar euro atau sekitar US$ 109 miliar. Pemungutan suara atas kebijakan ini dijadwalkan berlangsung pada Kamis, meski pelaksanaannya baru akan dilakukan paling cepat pada 7 Agustus.
Stok Minyak AS Menurun, Sinyal Positif untuk Pasar
Selain faktor geopolitik, penurunan cadangan minyak mentah Amerika Serikat juga memberikan sinyal positif bagi pasar. Dalam laporan mingguan terbaru, stok minyak mentah AS dilaporkan turun 3,2 juta barel menjadi 419 juta barel. Angka ini jauh melebihi perkiraan sebelumnya yang memproyeksikan penurunan sebesar 1,6 juta barel.
“Ini sinyal bullish. Penurunan terutama disebabkan oleh dinamika ekspor-impor,” kata Direktur Energi Berjangka di Mizuho, Bob Yawger.
Data dari Energy Information Administration (EIA) juga menunjukkan adanya peningkatan ekspor minyak mentah dari AS sebesar 337 ribu barel per hari, mencapai total 3,86 juta barel per hari. Sementara impor bersih justru mengalami penurunan hingga 740 ribu barel per hari.
Tak hanya itu, sentimen positif juga datang dari pernyataan Menteri Energi AS yang mengungkapkan bahwa Washington tengah mempertimbangkan penerapan sanksi tambahan terhadap minyak Rusia. Langkah ini bertujuan menekan Rusia agar menghentikan invasi ke Ukraina.
Sebelumnya, Uni Eropa juga telah menyetujui paket sanksi ke-18 terhadap Rusia. Paket tersebut termasuk di dalamnya adalah pengurangan batas atas harga minyak mentah Rusia sebagai bagian dari upaya untuk menekan pendanaan perang dari ekspor energi negara tersebut.
Secara keseluruhan, stabilnya harga minyak dunia di tengah berbagai faktor ketidakpastian menunjukkan pasar yang berhati-hati namun tetap responsif terhadap perkembangan ekonomi dan politik global. Para pelaku pasar masih menantikan arah negosiasi dagang dan keputusan strategis dari negara-negara besar yang berpotensi mempengaruhi arah permintaan dan suplai minyak global dalam jangka menengah.