JAKARTA - Harga minyak dunia mengalami kenaikan pada perdagangan Kamis, 24 Juli 2025 seiring dengan berbagai faktor yang memengaruhi pasar energi global. Di antaranya adalah laporan penurunan persediaan minyak mentah Amerika Serikat (AS) dan kabar mengenai rencana Rusia untuk memangkas ekspor bensin ke sejumlah negara.
Pergerakan harga menunjukkan Brent Crude Futures naik sebesar 0,98% dan ditutup pada level US$69,18 per barel. Sementara itu, West Texas Intermediate (WTI) mencatat penguatan lebih tinggi, yakni sebesar 1,20% ke posisi US$66,03 per barel.
Chevron dan Venezuela Sempat Tekan Harga
Kenaikan harga ini sempat tertahan di awal sesi perdagangan karena kabar dari AS terkait kebijakan terhadap Venezuela. Presiden AS, Donald Trump, disebut sedang mempersiapkan pemberian izin terbatas bagi Chevron untuk melanjutkan operasinya di negara Amerika Selatan tersebut. Langkah ini memberikan kejutan tersendiri bagi pelaku pasar.
“Berita tentang Chevron yang dapat kembali beroperasi di Venezuela sempat melemahkan pasar,” ujar Mitra Again Capital LLC, John Kilduff.
Namun, Kilduff juga menegaskan bahwa pasar tidak mengantisipasi akan ada perusahaan minyak AS lain yang mendapatkan perlakuan serupa.
“Ini kasus satu kali yang unik,” tambahnya.
Meski demikian, harga minyak mampu kembali menguat pada akhir sesi perdagangan setelah muncul kabar bahwa Rusia akan mengurangi ekspor bensin ke sebagian besar negara, kecuali kepada sekutunya dan negara-negara yang memiliki perjanjian pasokan tertentu, seperti Mongolia. Keputusan Rusia ini memberi dorongan baru bagi pasar, terutama di tengah perhatian pasar terhadap pasokan global.
Penurunan Stok dan Harapan Dagang Angkat Sentimen
Selain faktor geopolitik dan kebijakan ekspor Rusia, penurunan cadangan minyak mentah AS juga menjadi salah satu penyumbang penguatan harga. Berdasarkan data Badan Informasi Energi AS (EIA), persediaan minyak mentah di negara tersebut menyusut sebesar 3,2 juta barel pada pekan lalu. Jumlah ini turun menjadi 419 juta barel secara total, jauh di bawah ekspektasi analis yang memperkirakan penurunan hanya 1,6 juta barel.
Penurunan stok ini memperkuat optimisme pasar akan ketatnya pasokan minyak global, terutama jika permintaan meningkat pada paruh kedua tahun ini.
Di sisi lain, pasar juga merespons positif perkembangan hubungan dagang antara AS dan Uni Eropa. Harapan tercapainya kesepakatan yang dapat meredakan ketegangan tarif global turut memberi tambahan sentimen positif terhadap harga komoditas energi.