JAKARTA - Transformasi besar tengah berlangsung di sektor pertanian Indonesia. Saat berbagai tantangan seperti perubahan iklim, konversi lahan pertanian, dan minimnya regenerasi tenaga kerja mengancam ketahanan pangan nasional, harapan justru datang dari kalangan yang sebelumnya jarang dilirik: anak-anak muda.
Dominasi petani berusia lanjut masih menjadi realitas yang harus dihadapi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 mencatat, lebih dari 60 persen petani di Indonesia berusia di atas 45 tahun. Di sisi lain, jumlah petani muda (usia 19–39 tahun) masih relatif kecil, namun mulai menunjukkan peningkatan yang menjanjikan.
Untuk menjawab tantangan regenerasi, Kementerian Pertanian menggagas berbagai program strategis, salah satunya Youth Entrepreneurship and Employment Support Services (YESS). Program ini dirancang untuk menarik minat generasi muda agar tak sekadar menjadi penggarap lahan, tetapi juga pelaku usaha pertanian modern yang produktif.
Teknologi dan Inovasi Jadi Ciri Khas Petani Muda
Petani muda hadir dengan pendekatan berbeda yang memadukan teknologi, kreativitas, dan pemasaran digital. Mereka memanfaatkan aplikasi berbasis data, manajemen pertanian presisi, dan media sosial sebagai alat promosi hasil panen secara langsung kepada konsumen.
Gambaran nyata dari generasi baru ini bisa dilihat pada sosok Dedi Putra, petani milenial asal Banyuwangi, Jawa Timur. Ia sukses membudidayakan cabai dan sayuran organik menggunakan metode hidroponik. Lewat akun media sosial miliknya, Dedi tak hanya menjual hasil panen, tapi juga membangun komunitas petani muda yang saling berbagi pengalaman dan pengetahuan.
Fenomena seperti ini membuktikan bahwa dunia pertanian bisa tampil sebagai sektor yang modern, inovatif, dan berdaya saing tinggi—jauh dari kesan konvensional dan berat secara fisik seperti yang selama ini melekat.
Di ranah pendidikan, sejumlah institusi seperti Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan) telah menghasilkan lulusan yang tak hanya paham teori, tetapi siap terjun langsung sebagai pelaku usaha tani. Mereka mengombinasikan ilmu akademik, teknologi pertanian, dan semangat wirausaha untuk mengembangkan pertanian dari hulu ke hilir.
Menjawab Tantangan: Akses Lahan hingga Stigma Profesi
Meski optimisme tumbuh, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa petani muda masih menghadapi kendala struktural. Masalah utama meliputi keterbatasan akses terhadap lahan, minimnya modal, serta terbatasnya jaringan distribusi hasil panen. Untuk itu, dibutuhkan peran aktif dari berbagai pihak.
Pemerintah, lembaga keuangan, dan sektor swasta perlu bersinergi membangun ekosistem yang mendukung tumbuhnya petani muda. Ini mencakup kemudahan akses pembiayaan, pelatihan berkelanjutan, serta pendampingan bisnis di bidang agrikultur.
Tak kalah penting, masyarakat juga didorong untuk mengubah pandangannya terhadap profesi petani. Profesi ini tidak boleh lagi dianggap sebagai pilihan terakhir. Sebaliknya, menjadi petani adalah peran vital yang menopang kehidupan bangsa secara langsung.
Petani muda menjadi simbol transformasi. Mereka tidak hanya membawa tenaga dan semangat, tetapi juga membawa cara pandang baru terhadap pengelolaan pertanian yang lebih efisien, ramah lingkungan, dan berbasis pasar.
Dengan langkah yang tepat, dukungan yang konsisten, serta ruang berekspresi yang luas, generasi muda di sektor pertanian dapat menjadi motor utama dalam mewujudkan pertanian Indonesia yang lebih modern, adaptif, dan berkelanjutan di masa depan.