JAKARTA – Pasar batu bara saat ini sedang berada dalam tekanan, dengan harga yang sebagian besar mengalami penurunan pada Rabu, 26 Februari 2025. Sentimen negatif dari dua negara besar, China dan Amerika Serikat (AS), menjadi pemicu utama yang menggerakkan pasar ini.
Harga batu bara Newcastle, yang sering dijadikan acuan, menunjukkan tren yang beragam. Untuk kontrak Februari 2025, harganya naik mencapai US$ 102,4 per ton, meningkat sebesar US$ 0,4. Namun begitu, untuk kontrak Maret 2025, terjadi koreksi harga sebesar US$ 0,7, menurun menjadi US$ 101,4 per ton. April 2025 turut memperlihatkan depresiasi harga sebesar US$ 0,5, turun menjadi US$ 104,5 per ton. Dalam perkembangan yang berbeda, harga batu bara di Rotterdam untuk Februari 2025 meningkat sedikit, naik US$ 0,15 menjadi US$ 99,9. Namun, harga untuk Maret 2025 melemah senilai US$ 0,95, menjadi US$ 93,3, sementara April 2025 memperoleh kenaikan harga US$ 0,7 mencapai US$ 93.
Dampak signifikan berasal dari keputusan importir terbesar batu bara di China, Shenhua Energy. Perusahaan ini memutuskan untuk menghentikan pembelian batu bara impor di pasar spot, karena adanya peningkatan stok di pelabuhan-pelabuhan China. Keputusan yang dianggap dapat memberikan tekanan lebih besar lagi pada harga batu bara global ini diumumkan oleh CHN Energy Investment Group (CEIC), induk perusahaan Shenhua Energy.
Seorang pedagang senior batu bara yang berbasis di Singapura, yang memilih untuk tidak disebutkan namanya, menambahkan bahwa "Langkah yang diambil oleh Shenhua Energy jelas akan memberikan sinyal kuat kepada pasar, dan kita mungkin melihat tekanan turun pada harga batu bara global dalam beberapa bulan ke depan."
Sementara itu, di belahan lainnya, AS juga memberikan kontribusi signifikan terhadap sentimen negatif di pasar batu bara. Badan Informasi Energi Amerika Serikat (EIA) mengungkapkan dalam laporan terbarunya bahwa terdapat rencana penutupan sejumlah besar pembangkit listrik tenaga batu bara. Diharapkan sekitar 8,1 gigawatt (GW) kapasitas pembangkit listrik akan ditutup sepanjang tahun 2025. Angka ini hampir dua kali lipat dari total penutupan yang terjadi pada tahun 2024, yang hanya mencapai 4 GW. Kebijakan ini menunjukkan perlambatan yang signifikan jika dibandingkan dengan rata-rata penutupan 9,8 GW setiap tahunnya selama satu dekade terakhir. Langkah ini merupakan bagian dari usaha AS untuk beralih kepada sumber energi yang lebih ramah lingkungan dan merupakan respons terhadap kebijakan perubahan iklim yang gencar dilakukan.
Dari laporan dan analisis yang ada, jelas terlihat bahwa dua negara dengan ekonomi terbesar di dunia ini memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membentuk sentimen pasar batu bara global. Keputusan yang diambil oleh China dan AS menunjukkan perhatian terhadap lingkungan dan perubahan dalam pola konsumsi energi, yang memberi tekanan jual pada batu bara. "Ketidakpastian pasar energi semakin meningkat dengan adanya langkah penutupan pembangkit di AS dan penghentian pembelian oleh China," tambah seorang analis yang enggan disebutkan namanya dari sektor energi di Singapura.
Kondisi ini diperkirakan akan terus mempengaruhi pasar batu bara, tidak hanya pada 2025, tetapi juga dalam jangka panjang. Beberapa produsen batu bara global menghadapi tantangan besar dan perlu menyesuaikan diri dengan cepat menuju bahan bakar alternatif dan teknologi energi baru. Adalah penting bagi setiap pemangku kepentingan untuk memperhatikan tren global dalam kebijakan energi dan mempersiapkan diri terhadap potensi fluktuasi lebih lanjut di pasar.
Pasar energi yang lebih hijau dan berkelanjutan tampaknya menjadi arah yang diambil oleh banyak negara, dan arus pergeseran ini menjadikan komoditas seperti batu bara menghadapi tantangan eksistensi yang sangat kritis. Meskipun harga mungkin mengalami perbaikan sementara, kecenderungan global menuju energi bersih bisa semakin meredupkan prospek jangka panjang untuk batu bara.