JAKARTA – Hidrogen semakin diperhitungkan sebagai solusi utama dalam transisi energi global menuju net-zero emission. Hal ini disampaikan oleh Prof. Dr. Ir. Adrian Nur, S.T., M.T., saat pengukuhannya sebagai Guru Besar di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, dalam bidang Teknologi Proses Elektrokimia-Rekayasa Elektrokimia, Fakultas Teknik.
Dalam pidato pengukuhannya yang berjudul Peranan Ilmu Rekayasa Elektrokimia dalam Pengembangan Bahan Bakar Hidrogen, Adrian menyoroti potensi besar hidrogen, khususnya hidrogen hijau, sebagai bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan. Hidrogen hijau yang dihasilkan melalui elektrolisis air berbasis energi terbarukan disebut mampu mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil serta meminimalkan dampak perubahan iklim.
“Hidrogen tidak hanya menjadi solusi bagi sektor transportasi, tetapi juga memiliki aplikasi luas dalam industri, pembangkit listrik, dan rumah tangga,” ujar Adrian.
Keunggulan Hidrogen dan Rekayasa Elektrokimia
Adrian menjelaskan bahwa hidrogen memiliki nilai kalor tinggi, laju reaksi yang cepat, serta kompatibilitas tinggi dengan berbagai sumber energi terbarukan. Dalam penelitiannya, ia menegaskan pentingnya rekayasa elektrokimia dalam mendukung pengembangan teknologi hidrogen.
Rekayasa elektrokimia berperan dalam desain perangkat dan proses energi seperti elektrolisis air, fuel cell, serta sistem penyimpanan hidrogen. Inovasi dalam bidang ini sangat dibutuhkan guna meningkatkan efisiensi produksi dan penyimpanan hidrogen secara luas.
“Teknologi fuel cell berbasis hidrogen menawarkan efisiensi tinggi dengan jejak karbon yang jauh lebih rendah dibandingkan teknologi berbasis bahan bakar fosil,” tambahnya.
Selain itu, Adrian juga telah mengembangkan inovasi dalam sintesis katalis berbasis logam transisi yang berfungsi untuk meningkatkan pelepasan hidrogen dari bahan penyimpan kimia seperti sodium borohidrat. Inovasi ini menjadi salah satu solusi untuk menjawab tantangan efisiensi penyimpanan dan produksi hidrogen di masa depan.
Indonesia Bersiap Menuju Era Hidrogen Hijau
Sebagai bagian dari upaya transisi energi nasional, pemerintah Indonesia telah merancang kebijakan strategis untuk mengembangkan hidrogen hijau. Mulai tahun 2031, Indonesia menargetkan peningkatan kapasitas produksi hidrogen dari 328 MW pada 2031–2035 menjadi 52 GW pada 2051–2060.
“Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemain utama dalam produksi hidrogen hijau berkat sumber daya alam yang melimpah seperti matahari, angin, air, biomassa, dan geotermal,” ungkap Adrian.
Dengan menipisnya cadangan bahan bakar minyak (BBM) fosil serta meningkatnya kebutuhan energi nasional, hidrogen dinilai sebagai solusi energi yang menjanjikan. Pengembangan hidrogen hijau di Indonesia dapat memperkuat ketahanan energi nasional dan mendukung target pengurangan emisi karbon yang telah dicanangkan dalam Kesepakatan Paris.
Teknologi Fuel Cell dan Komitmen Global
Seiring dengan tren global, teknologi fuel cell berbasis hidrogen semakin diakui sebagai solusi energi berkelanjutan. Banyak negara telah mengadopsi teknologi ini untuk sektor transportasi dan pembangkit listrik guna mengurangi emisi karbon secara signifikan.
Adrian menegaskan bahwa perkembangan pesat teknologi hidrogen serta integrasi fuel cell ke dalam strategi nasional menunjukkan komitmen global terhadap masa depan energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Pemerintah dan sektor industri diharapkan semakin gencar dalam mengembangkan ekosistem hidrogen hijau, baik dari sisi riset, investasi, maupun regulasi. Dengan langkah-langkah strategis tersebut, Indonesia berpotensi menjadi salah satu pusat produksi hidrogen hijau terbesar di dunia, sekaligus mendorong transisi energi yang lebih ramah lingkungan.
Dengan segala potensinya, hidrogen kini bukan sekadar wacana, melainkan solusi nyata bagi masa depan energi global.