JAKARTA - Harga minyak sawit mentah (CPO) diperkirakan akan tetap stabil dalam kisaran RM3.900 hingga RM4.200 per ton atau setara dengan Rp15 juta hingga Rp16,17 juta per ton (dengan asumsi kurs 1 RM = Rp3.850) setidaknya hingga Juli 2025. Prediksi ini disampaikan oleh Dewan Minyak Sawit Malaysia (Malaysian Palm Oil Council/MPOC) berdasarkan berbagai indikator fundamental pasar yang mendukung.
Dalam laporan yang dikutip dari The Edge Market, Kamis, 19 Juni 2025, MPOC menyebutkan bahwa meskipun stok minyak sawit Malaysia pada Mei 2025 melonjak hingga 1,77 juta ton, yang merupakan angka tertinggi dalam 10 tahun terakhir untuk bulan tersebut, harga tetap akan stabil karena sejumlah faktor pendukung yang kuat.
“Peningkatan ini sebagian besar didorong oleh kondisi cuaca yang mendukung untuk panen,” ungkap MPOC.
Permintaan dari China dan India Dorong Stabilitas Pasar
Salah satu faktor utama yang menjaga kestabilan harga CPO adalah tingginya permintaan dari Tiongkok dan India—dua pasar ekspor terbesar Malaysia. Menurut MPOC, kedua negara ini menyumbang sekitar 28 persen dari total ekspor minyak sawit Malaysia pada bulan Mei.
“Pemulihan ini terutama disumbang oleh permintaan yang kuat dari Tiongkok dan India, yang secara kolektif menyumbang 28% dari total ekspor minyak sawit Malaysia pada Mei,” tambah MPOC dalam pernyataan resminya.
Tak hanya dari sisi permintaan, kebijakan pemerintah India yang memangkas bea masuk minyak sawit mentah turut memberi angin segar bagi eksportir Malaysia. Dengan perbedaan bea masuk antara minyak mentah dan minyak olahan yang mencapai 19,25 persen, harga CPO menjadi lebih kompetitif di pasar global.
Selisih Harga dengan Minyak Nabati Lain Perkuat Daya Saing
Faktor lain yang meningkatkan daya tarik CPO Malaysia adalah selisih harga dengan minyak kedelai, yang tercatat mencapai USD83 per ton. Perbedaan ini memberikan insentif biaya bagi negara-negara pembeli, terutama India, yang menjadi importir utama CPO Malaysia.
Namun demikian, produksi CPO pada Juni diprediksi akan sedikit melambat. Hal ini dipicu oleh berkurangnya hari kerja panen karena adanya libur nasional dan daerah, yang menyebabkan turunnya produktivitas di perkebunan.
Dari sisi global, pasar minyak nabati juga menunjukkan kecenderungan stabil. Hal ini sejalan dengan meredanya ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China, yang selama beberapa tahun terakhir menjadi salah satu penyebab fluktuasi harga minyak nabati dunia.
Tantangan dari Produksi Global dan Biofuel
Meskipun stabilitas harga diprediksi berlanjut hingga Juli 2025, MPOC tetap mewaspadai sejumlah risiko eksternal. Salah satunya adalah kenaikan produksi minyak nabati lain, seperti minyak biji bunga matahari dan lobak, yang diperkirakan naik hingga 8,1 juta ton secara global. Hal ini dapat memberikan tekanan pasokan pada pasar minyak nabati dunia.
Selain itu, produksi kedelai yang tinggi di Amerika Serikat diprediksi akan meninggalkan stok besar hingga tahun 2026, yang juga berpotensi menekan harga CPO jika tidak diimbangi oleh peningkatan permintaan.
“Produksi kedelai yang tinggi juga diperkirakan akan meninggalkan stok besar untuk tahun 2026,” kata MPOC.
Lonjakan harga minyak kedelai di AS pun turut menambah dinamika pasar. Kebijakan pemerintah Amerika, termasuk dorongan penggunaan biofuel berbasis biomassa selama pemerintahan Trump, membuat harga minyak kedelai meningkat, karena bahan baku lokal lebih diprioritaskan dalam industri energi terbarukan.
Prospek Positif Meski Ada Tantangan
Meski menghadapi sejumlah tantangan, MPOC tetap menilai risiko penurunan harga CPO pada bulan Juli relatif kecil. Stok CPO diperkirakan akan tetap stabil di kisaran dua juta ton, dengan permintaan ekspor yang masih tinggi dan produksi yang melandai setelah panen puncak pada April dan Mei.
Secara keseluruhan, pasar CPO diprediksi akan tetap kompetitif dan stabil dalam jangka pendek, terutama berkat dukungan faktor eksternal seperti cuaca, kebijakan perdagangan global, serta kekuatan permintaan dari negara-negara konsumen utama.
Stabilnya harga minyak sawit hingga pertengahan 2025 memberi harapan positif bagi para pelaku industri CPO di Malaysia dan Asia Tenggara. Dengan permintaan kuat dari Tiongkok dan India, serta berbagai kebijakan perdagangan yang mendukung, pasar memiliki landasan yang cukup kuat untuk menghadapi tantangan global ke depan.