Nikel

Nikel Turun Tipis, Harita Nickel Fokus Kembangkan Smelter dan Tambang Baru

Nikel Turun Tipis, Harita Nickel Fokus Kembangkan Smelter dan Tambang Baru
Nikel Turun Tipis, Harita Nickel Fokus Kembangkan Smelter dan Tambang Baru

JAKARTA - Meski harga nikel global menunjukkan tren penurunan, PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau yang dikenal sebagai Harita Nickel, tetap optimistis mempertahankan pertumbuhan pendapatan dan laba bersih pada tahun 2025. Data dari Trading Economics mencatat harga nikel berada di level US$15.007 per metrik ton pada Kamis, 19 Juni 2025 malam, turun US$89 atau 0,59% secara harian dan turun 13,76% dibandingkan tahun lalu. Sedangkan data London Metal Exchange (LME) mencatat harga kontrak nikel tiga bulan berada di angka US$15.045, turun tipis 0,05%.

Direktur Keuangan Harita Nickel, Suparsin Darmo Liwan, menilai harga nikel saat ini sudah berada pada level yang relatif stabil dan bahkan telah menyentuh titik terendah. Kondisi tersebut dinilai tidak menghambat performa perusahaan yang mengandalkan efisiensi sebagai produsen biaya rendah (low-cost producer).

“Dengan kondisi harga saat ini, kami masih cukup optimistis terhadap kinerja perusahaan, mengingat posisi kami sebagai low-cost producer,” ujar Suparsin.

Dorong Kapasitas Produksi dan Proyek Smelter Baru

Untuk mempertahankan performa positif, Harita Nickel terus mendorong kapasitas produksi, khususnya dari anak usaha seperti PT Gane Tambang Sentosa (GTS) yang sudah mulai beroperasi. Stabilitas operasional anak usaha lainnya, seperti PT Megah Surya Pertiwi (MSP) dan PT Halmahera Jaya Feronikel (HJF), juga menjadi pilar penting bagi NCKL.

Selain itu, PT Obi Nickel Cobalt (ONC) yang sudah mencapai kapasitas optimal, dan PT Karunia Permai Sentosa (KPS) yang mulai beroperasi bertahap sejak awal tahun ini, juga diharapkan menyumbang produksi secara signifikan.

NCKL menargetkan produksi feronikel (FeNi) sebesar 60.000 ton pada tahun ini, didukung percepatan pembangunan proyek smelter Rotary Kiln-Electric Furnace (RKEF) ketiga di Pulau Obi, Halmahera Selatan, melalui KPS.

Direktur Utama Harita Nickel, Roy Arman Arfandi, menjelaskan bahwa perusahaan telah menyelesaikan empat dari 12 jalur produksi smelter yang beroperasi bertahap sejak Januari hingga Maret 2025.

“Sementara itu, sisa 8 line masih dalam tahap konstruksi. Diperkirakan kapasitas produksi tahun ini akan mencapai 60.000 ton kandungan nikel per tahun dalam bentuk FeNi,” kata Roy.

Proyek Pengolahan Kapur dan Pengembangan Tambang Baru

Selain pengembangan smelter, NCKL juga tengah membangun pabrik pengolahan kapur melalui PT Cipta Kemakmuran Mitra (CKM). Pabrik ini akan mengolah batu kapur menjadi quicklime yang digunakan untuk mendukung proses pengolahan nikel di fasilitas yang ada.

Proyek senilai US$70 juta tersebut sudah mencapai progres konstruksi 42% hingga kuartal I/2025.

“Selama ini kami membeli quicklime dari pihak ketiga dengan harga tinggi. Dengan beroperasinya CKM, kami berharap dapat menurunkan biaya produksi,” ujar Roy.

Dari sisi hulu, NCKL juga sedang mempersiapkan pembukaan tambang ketiga melalui GTS dengan eksplorasi luas mencapai 438 hektare dan telah melakukan 1.800 titik pengeboran sampai Maret 2025.

Kinerja Keuangan Kuartal I/2025 Tumbuh Positif

Hingga kuartal I/2025, NCKL berhasil membukukan pendapatan sebesar Rp7,13 triliun, naik signifikan dari Rp6,03 triliun pada periode yang sama tahun lalu. Beban pokok penjualan juga meningkat 13,81% menjadi Rp5,02 triliun.

Hal ini mendorong laba kotor perusahaan naik 29,90% menjadi Rp2,1 triliun. Lebih lanjut, laba bersih yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk meningkat 65,48% menjadi Rp1,65 triliun.

Laba per saham NCKL naik dari Rp15,87 menjadi Rp26,27 pada kuartal pertama tahun ini.

Tantangan Pasar dan Prospek Saham

Meskipun kinerja perusahaan positif, harga nikel global diperkirakan akan tetap moderat dalam waktu dekat akibat kelebihan pasokan di pasar. Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Muhammad Farras Farhan, memperkirakan pasokan nikel dunia pada 2025 mencapai 3,8 juta ton, didominasi oleh produksi Indonesia yang menembus 2,1 juta ton.

Farras juga mengungkapkan sejumlah hambatan seperti tekanan ESG (lingkungan, sosial, dan tata kelola), kekurangan asam sulfat untuk pengolahan, dan perizinan yang tertunda, yang membatasi peningkatan output.

Di sisi permintaan, sektor baja tahan karat masih menjadi kontributor utama dengan pangsa sekitar 68%, sedangkan permintaan dari sektor baterai diperkirakan melambat menjadi 10% akibat penggunaan teknologi baterai Lithium Iron Phosphate (LFP) yang tidak membutuhkan nikel.

“Meskipun sentimen terhadap nikel masih lemah, kami menilai sebagian besar sentimen negatif sudah tercermin dalam harga sehingga memberikan peluang masuk secara taktis,” jelas Farras.

Mayoritas analis juga memberikan rekomendasi positif untuk saham NCKL. Berdasarkan data Bloomberg hingga Rabu (18/6/2025), 23 dari 24 analis atau 95,8% menyarankan beli, dengan target harga konsensus Rp1.095 per saham dalam 12 bulan ke depan berpotensi naik 59,9% dari harga penutupan Rp685 per saham.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index