Sri Mulyani

Sri Mulyani Soroti Dampak Tarif Trump terhadap BRICS dan Indonesia

Sri Mulyani Soroti Dampak Tarif Trump terhadap BRICS dan Indonesia
Sri Mulyani Soroti Dampak Tarif Trump terhadap BRICS dan Indonesia

JAKARTA - Pernyataan terbaru Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang mengancam akan mengenakan tarif tambahan 10 persen terhadap negara-negara BRICS memunculkan perhatian serius dari pemerintah Indonesia. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa pihaknya terus memantau perkembangan tersebut, sembari melanjutkan komunikasi dan negosiasi dengan Pemerintah AS.

“Ya, kami akan terus mengikuti (perkembangan) saja, karena Indonesia masih dalam proses pembicaraan dengan Pemerintah Amerika Serikat,” kata Sri Mulyani.

Menurutnya, kebijakan tarif yang dilontarkan Trump menjadi salah satu dinamika penting dalam ekonomi global yang kini sarat dengan ketidakpastian. Imbas dari wacana tarif resiprokal dan persaingan geopolitik lintas blok seperti BRICS dan negara-negara Barat juga masuk dalam pertimbangan utama penyusunan kebijakan ekonomi nasional, termasuk dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) untuk Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2026.

Kebijakan Tarif Trump Dinilai Bisa Memicu Ketegangan Baru

Donald Trump, dalam unggahan di platform Truth Social, menegaskan bahwa tidak akan ada pengecualian untuk kebijakan tarif yang akan dikenakan pada negara-negara yang dianggap “mendukung kebijakan anti-Amerika” oleh kelompok BRICS.

Pernyataan keras tersebut disampaikan bertepatan dengan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS 2025 yang berlangsung di Rio de Janeiro, Brasil. Dalam forum tersebut, Presiden Indonesia Prabowo Subianto turut hadir bersama para pemimpin dunia lainnya. Trump menanggapi kehadiran dan konsolidasi BRICS itu dengan nada tegas.

“Bapak Presiden (Prabowo) berada di pertemuan BRICS dengan para pemimpin dunia, dan kemudian Presiden AS Donald Trump menyampaikan pernyataan bahwa kelompok BRICS dianggap tidak mendukung AS sehingga mengancam akan mengenakan tambahan tarif,” jelas Sri Mulyani.

Lebih lanjut, Trump menyatakan bahwa tarif tambahan akan diberlakukan mulai Senin, 7 Juli 2025 pukul 12.00 waktu Washington atau sekitar pukul 23.00 WIB. Dalam unggahan lainnya, ia menyebutkan bahwa surat pemberitahuan tarif atau kesepakatan dagang akan dikirimkan ke negara-negara mitra dagang AS pada waktu tersebut.

BRICS dan Ancaman Dedolarisasi Bikin AS Waspada

Salah satu alasan utama di balik ketegangan ini adalah agenda dedolarisasi yang kian menguat di kalangan negara-negara BRICS, terutama sejak sanksi ekonomi AS terhadap Rusia pada 2022. Dalam beberapa forum, kelompok BRICS yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, serta beberapa calon anggota baru seperti Indonesia terus mendorong upaya mengurangi ketergantungan pada dolar AS dalam transaksi perdagangan internasional.

Trump merespons wacana ini dengan keras. Ia menyebut, jika BRICS tetap memaksakan agenda pengganti dolar, maka mereka akan dikenai tarif 100 persen oleh pemerintahannya jika ia kembali terpilih sebagai presiden.

"Jika mereka tetap melakukannya, mereka akan dikenakan tarif 100 persen," tulis Trump.

Meskipun demikian, hingga kini belum ada keputusan konkret dari pemerintah AS mengenai pelaksanaan tarif tersebut. Pemerintah Indonesia pun memilih untuk bersikap hati-hati dan menunggu langkah konkret dari Washington sebelum mengambil sikap resmi.

RAPBN 2026 Disusun Hati-Hati Hadapi Ketidakpastian Global

Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa semua perkembangan ini akan menjadi pertimbangan penting dalam menyusun RAPBN 2026. Ia mengatakan, pemerintah akan sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan fiskal, mengingat risiko global dan potensi perlambatan ekonomi akibat tensi dagang internasional yang kembali meningkat.

“Dinamika ekonomi global saat ini sangat dipengaruhi oleh ketidakpastian global, termasuk kebijakan tarif resiprokal yang diusung Trump,” ujar Sri Mulyani.

Dia juga menyebut bahwa setiap langkah fiskal Indonesia harus memperhatikan faktor domestik, sekaligus menyesuaikan dengan dinamika global. Keseimbangan ini diperlukan agar APBN tetap tangguh dalam menopang pertumbuhan ekonomi nasional.

Ancaman Tarif Bisa Ganggu Stabilitas Perdagangan Global

Kebijakan tarif tinggi yang diusulkan Trump mendapat sorotan dari para pengamat perdagangan global karena dinilai bisa kembali memicu perang dagang seperti yang terjadi pada periode 2018–2019 saat ia menjabat presiden sebelumnya. Ketika itu, hubungan dagang antara AS dan China memburuk, dan berdampak ke negara-negara berkembang yang menjadi bagian dari rantai pasok global termasuk Indonesia.

Kini, dengan BRICS makin aktif membangun blok ekonomi baru dan wacana dedolarisasi menjadi isu sentral, ancaman tarif AS dipandang sebagai bentuk tekanan terhadap munculnya kutub ekonomi baru di luar dominasi Barat.

Sri Mulyani memastikan bahwa pemerintah Indonesia akan terus memperkuat diplomasi ekonomi dan kebijakan fiskal untuk menjaga stabilitas di tengah situasi yang tak menentu. Ia juga menegaskan bahwa setiap kebijakan luar negeri, termasuk kerja sama dalam BRICS, akan dijalankan dengan tetap mengedepankan kepentingan nasional.

Indonesia saat ini berada dalam posisi strategis namun juga penuh tantangan dalam konstelasi ekonomi global. Ketegangan antara AS dan BRICS, terutama terkait tarif dan dedolarisasi, bisa mempengaruhi jalannya hubungan dagang, investasi, hingga stabilitas fiskal. Pemerintah memilih untuk bersikap waspada dan hati-hati—sembari terus menjaga komunikasi diplomatik demi mengamankan posisi Indonesia dalam percaturan ekonomi global ke depan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index