JAKARTA - Harga minyak dunia kembali menanjak ke level tertinggi dalam dua pekan terakhir pada Selasa (8/7/2025), dipengaruhi oleh beragam faktor mulai dari revisi produksi minyak Amerika Serikat yang lebih rendah, ketegangan keamanan di kawasan Laut Merah, hingga kebijakan tarif impor tembaga dari AS yang mengejutkan pasar global. Kenaikan ini sekaligus mencerminkan dinamika pasar energi yang tetap sensitif terhadap sentimen geopolitik dan kebijakan perdagangan internasional.
Koreksi Proyeksi Produksi dan Dampak Geopolitik
Menurut Badan Informasi Energi AS (EIA), produksi minyak negara tersebut diperkirakan lebih rendah dari proyeksi sebelumnya karena pelemahan harga yang memaksa para produsen untuk menahan aktivitas pengeboran. Hal ini menjadi pemicu utama kenaikan harga minyak. Selain itu, eskalasi konflik di Laut Merah menambah tekanan pada pasokan global, setelah serangan drone dan kapal cepat menimpa kapal berbendera Liberia yang beroperasi di wilayah strategis tersebut, menyebabkan tiga awak kapal tewas dan memaksa pengalihan rute kapal-kapal pengangkut minyak dan LNG.
Pengaruh Tarif Tembaga dan Pergerakan Teknis Pasar
Selain faktor fundamental, harga minyak juga terdongkrak oleh kebijakan baru pemerintah AS yang menetapkan tarif impor tembaga sebesar 50%. Pengumuman tersebut membuat harga tembaga meroket ke level tertinggi, memicu kekhawatiran inflasi yang berdampak pada harga energi secara umum. Dari sisi teknis, aksi short covering mendorong harga Brent menembus batas psikologis US$70 per barel, sementara margin kilang yang menguat semakin mendukung kenaikan harga minyak mentah. Diesel crack spread bahkan menyentuh level tertinggi sejak Maret 2024.
Penurunan Stok Minyak dan Prospek Pasar
Analisis juga mengindikasikan bahwa stok minyak mentah AS turun sekitar 2,1 juta barel pada pekan terakhir, menandakan permintaan yang masih kuat di tengah dinamika pasar. Jika data resmi dari API dan EIA nanti mengonfirmasi tren ini, hal tersebut akan memperkuat sentimen positif bagi harga minyak dalam jangka pendek, meski di tengah ancaman peningkatan produksi oleh OPEC+ mulai Agustus mendatang.