JAKARTA - Awal pekan ini, harga minyak mentah dunia kembali mengalami penguatan yang menandai kelanjutan reli yang dimulai pada Jumat lalu. Brent naik tipis ke US$70,44 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) menguat ke US$68,50 pada pagi hari Senin, 14 Juli 2025. Lonjakan harga ini terutama didorong oleh sentimen geopolitik yang memanas antara Amerika Serikat dan Rusia, di tengah pergerakan kebijakan dan manuver politik yang berpotensi mengganggu pasokan energi global.
Presiden AS Donald Trump menjadi salah satu aktor sentral dalam dinamika ini. Rencana pengumuman pernyataan besar terkait Rusia dan pengiriman sistem pertahanan udara Patriot ke Ukraina memperlihatkan eskalasi ketegangan yang dapat memperburuk hubungan Washington dan Moskow. Ketidakpastian yang tercipta membuat pasar energi bergerak hati-hati, mengantisipasi dampak lanjutan terhadap suplai minyak dunia.
Tekanan Politik dan Langkah Legislasi yang Memperkuat Ketidakpastian
Selain aksi dari pemerintah AS, tekanan legislatif di Kongres juga menguatkan sentimen tersebut. Rancangan undang-undang bipartisan yang tengah disiapkan mengusulkan sanksi baru terhadap Rusia, mempersempit ruang gerak ekonomi Moskow dan berpotensi menambah tekanan pada pasar energi global. Di sisi lain, Uni Eropa hampir mencapai kesepakatan untuk paket sanksi ke-18, yang salah satunya mencakup penurunan harga batas minyak Rusia. Ini menandakan koordinasi yang semakin ketat dalam upaya menekan Kremlin secara ekonomi.
Namun, harga minyak tidak serta-merta melonjak tanpa hambatan. Peningkatan produksi dari Arab Saudi menjadi faktor penahan kenaikan harga. Menurut data Badan Energi Internasional (IEA), Saudi menaikkan produksinya hingga 9,8 juta barel per hari pada Juni, melewati kuota OPEC+ yang disepakati di angka 9,37 juta barel. Klaim Kementerian Energi Saudi menyatakan bahwa pasokan mereka masih sesuai kesepakatan, tapi fakta produksi yang lebih tinggi tetap menjadi salah satu variabel pengendali harga.
Permintaan Musiman dan Faktor Ekonomi Global
Selain tekanan geopolitik dan produksi, permintaan musiman juga ikut mendorong harga minyak. Musim panas di belahan bumi utara meningkatkan konsumsi bahan bakar transportasi dan listrik, menambah permintaan yang memberi sentimen positif bagi harga. Dalam satu pekan terakhir, Brent naik sekitar 3%, sementara WTI menguat 2,2%.
Namun, pelaku pasar masih menanti data perdagangan komoditas dari China, yang akan memberikan gambaran tentang kekuatan permintaan terbesar kedua dunia ini. Pelemahan permintaan di China bisa menjadi sinyal peringatan bagi pasar energi global. Selain itu, negosiasi tarif antara AS dan mitra dagang utamanya tetap menjadi bayang-bayang ketidakpastian ekonomi yang berpotensi menahan pertumbuhan dan konsumsi energi ke depan.
Pasar Minyak Berada di Persimpangan Ketegangan dan Pasokan
Kenaikan harga minyak pekan ini mencerminkan perpaduan antara ketegangan geopolitik yang terus memanas dan dinamika produksi dari negara produsen utama. Manuver politik Presiden Trump terkait Rusia menjadi katalis utama yang menimbulkan kekhawatiran terhadap stabilitas pasokan. Namun, upaya Arab Saudi meningkatkan produksi sedikit banyak menyeimbangkan tekanan harga di pasar.
Sementara itu, permintaan global yang sedang bergantung pada kondisi musim dan faktor ekonomi negara besar seperti China serta negosiasi perdagangan internasional, terus menambah variabel ketidakpastian. Dalam kondisi seperti ini, pasar minyak global menghadapi fase yang penuh tantangan, di mana setiap langkah kebijakan politik dan produksi akan sangat menentukan arah harga ke depan.