JAKARTA - Pelemahan harga minyak global terus berlanjut meski ancaman tarif baru dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap Rusia kian menguat. Pasar belum melihat aksi konkret yang menyasar ekspor energi Moskow, membuat para pelaku industri tetap waspada terhadap kemungkinan langkah lanjutan.
Harga minyak mentah acuan AS, West Texas Intermediate (WTI), masih diperdagangkan mendekati level US$67 per barel, sementara Brent sebelumnya ditutup mendekati US$69 per barel. Ancaman Trump berupa tarif 100% akan diterapkan jika Rusia tidak menghentikan invasinya ke Ukraina dalam kurun 50 hari, namun hingga kini, kebijakan tersebut belum menyasar langsung sektor ekspor energi.
Trump juga menyampaikan dukungan militer tambahan bagi Ukraina. Di sisi lain, rencana sanksi yang disebut-sebut akan berdampak secara sekunder juga mulai menimbulkan kecemasan di negara-negara pembeli minyak Rusia seperti India dan China.
Menurut Duta Besar AS untuk NATO, Matt Whitaker, rencana sanksi sekunder bisa berdampak signifikan pada mitra dagang utama Rusia. “India dan China berpotensi merasakan dampaknya jika tetap membeli minyak dari Rusia,” ujarnya.
Pasar Minyak Tetap Tertekan
Sepanjang tahun ini, harga minyak telah terkoreksi sekitar 7%. Beberapa faktor memengaruhi tren tersebut, mulai dari kekhawatiran resesi global, sinyal melemahnya permintaan dari China yang merupakan importir terbesar, hingga sikap OPEC+ yang mulai melonggarkan kebijakan pembatasan pasokan.
Langkah OPEC+ tersebut menambah tekanan pada pasar, karena menimbulkan kekhawatiran kelebihan pasokan di paruh kedua tahun ini. Pasar global pun bersiap menghadapi potensi stok minyak yang melimpah apabila permintaan tidak mampu mengimbangi peningkatan pasokan.
Pada perdagangan Selasa pagi waktu Singapura, harga minyak WTI kontrak pengiriman Agustus tercatat stabil di level US$66,98 per barel pada pukul 07.21 waktu setempat. Sementara itu, Brent kontrak September sebelumnya ditutup turun 1,6% menjadi US$69,21 per barel pada Senin.
Ancaman Belum Diikuti Tindakan
Hingga kini, belum ada langkah nyata dari pemerintah AS yang secara langsung menargetkan ekspor energi Rusia. Hal ini membuat pasar masih menunggu kejelasan lebih lanjut, apakah ancaman tarif tersebut benar-benar akan diterapkan dan seperti apa dampaknya terhadap perdagangan global.
Kondisi geopolitik yang masih belum stabil, serta ketidakpastian arah kebijakan Trump terhadap Rusia, membuat pelaku pasar memilih untuk bersikap hati-hati. Terlebih, sentimen dari China juga belum menunjukkan pemulihan signifikan yang dapat mendongkrak permintaan global.
Di tengah situasi ini, berbagai pihak terus memantau perkembangan, termasuk sinyal dari produsen besar seperti BP, yang mengindikasikan adanya penguatan penjualan minyak pada kuartal II-2025. Namun, hal itu belum cukup untuk mendorong harga kembali ke tren positif dalam waktu dekat.