Panas Bumi

Panas Bumi: Energi Hijau dengan Tantangan Solutif

Panas Bumi: Energi Hijau dengan Tantangan Solutif
Panas Bumi: Energi Hijau dengan Tantangan Solutif

JAKARTA - Energi panas bumi menjadi salah satu pilar penting dalam transisi energi terbarukan Indonesia. Dengan cadangan yang sangat besar, potensi panas bumi di tanah air mencapai 23,7 gigawatt, atau sekitar 40 persen dari cadangan panas bumi dunia. Besarnya potensi ini setara dengan 11 miliar barel minyak, menjadikan panas bumi sumber energi yang sangat strategis untuk masa depan energi nasional.

Meski demikian, hingga akhir 2024 kapasitas pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) yang terpasang baru mencapai 2.638,8 megawatt, atau hanya sekitar 11 persen dari total potensi. Pemerintah pun terus mendorong pembangunan PLTP di berbagai daerah untuk meningkatkan pemanfaatan energi ini.

Contohnya, pada akhir Juni 2025 Presiden Prabowo Subianto meresmikan tiga PLTP baru dengan total kapasitas 91,9 MW, dan lima proyek PLTP lainnya memasuki tahap awal pembangunan dengan kapasitas 260 MW. PLTP yang baru diresmikan antara lain PLTP Ijen di Bondowoso (35 MW), PLTP Sorik Marapi Unit 5 di Sumatera Utara (41,25 MW), dan PLTP Salak Binary di Jawa Barat (16,15 MW).

Investasi dalam proyek-proyek ini mencapai Rp 25 triliun, menunjukkan komitmen pemerintah untuk mencapai swasembada energi terutama melalui energi baru terbarukan (EBT). Presiden Prabowo juga menegaskan pentingnya energi terbarukan sebagai jalan menuju nol emisi karbon dan sekaligus menekan biaya energi nasional.

Konflik dan Penolakan Masyarakat di Lokasi Pembangunan PLTP

Di balik potensi dan pembangunan pesat, energi panas bumi menghadapi tantangan serius, terutama penolakan dari masyarakat di beberapa lokasi proyek. Di Kabupaten Manggarai, misalnya, warga Poco Leok menolak rencana perluasan PLTP Ulumbu. Mereka khawatir perluasan tersebut akan merusak lahan pertanian dan ruang hidup yang selama ini dijaga dengan adat istiadat, seperti keberadaan 14 rumah gendang adat yang dianggap sakral.

Menurut Kristianus Jaret, salah satu warga yang menolak, proses perencanaan perluasan PLTP tidak melibatkan aspirasi masyarakat secara memadai. Ia juga mengingatkan kondisi geografis Poco Leok yang rawan longsor dan sulit untuk pembangunan infrastruktur yang aman. Masyarakat di sana bahkan telah menikmati listrik dari PLN sejak 2019 tanpa perluasan PLTP.

Situasi serupa juga terjadi di Mataloko, Kabupaten Ngada, di mana proyek PLTP yang dimulai sejak 2003 belum selesai dan justru menimbulkan pencemaran lahan. Kondisi ini memperkuat kekhawatiran masyarakat terhadap dampak lingkungan pembangunan PLTP.

Menurut Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), penolakan masyarakat seringkali muncul akibat kurangnya keterlibatan dan komunikasi yang baik antara pengembang proyek dengan warga. Pendekatan yang represif dan mengabaikan aspirasi lokal justru memperparah konflik. Namun, ada juga faktor eksternal yang mempengaruhi penolakan, termasuk pihak yang merasa dirugikan oleh kehadiran energi panas bumi.

Pihak PLN, yang bertanggung jawab atas beberapa proyek PLTP tersebut, menyatakan telah melakukan berbagai upaya komunikasi formal dan informal dengan masyarakat. Namun, masih terdapat sebagian warga yang menolak dan tidak bersedia berdialog.

Energi panas bumi memiliki peran krusial dalam mewujudkan kedaulatan energi dan mitigasi perubahan iklim Indonesia. Namun, keberhasilan pengembangannya tidak hanya bergantung pada potensi dan investasi, melainkan juga pada bagaimana proyek-proyek ini dikelola dengan memperhatikan hak dan kepentingan masyarakat sekitar. Pendekatan yang humanis dan partisipatif menjadi kunci untuk menjembatani kepentingan pembangunan energi berkelanjutan dan perlindungan ruang hidup masyarakat.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index