Nikel

Impor Nikel Filipina Jadi Solusi Pasokan Tersendat

Impor Nikel Filipina Jadi Solusi Pasokan Tersendat
Impor Nikel Filipina Jadi Solusi Pasokan Tersendat

JAKARTA - Ketersediaan bijih nikel di dalam negeri kini menghadapi sejumlah hambatan yang berpotensi mengganggu kelancaran operasional smelter nikel di Indonesia. Ketika produksi domestik belum mampu sepenuhnya memenuhi kebutuhan industri pengolahan, opsi impor bijih nikel dari Filipina mulai diperhitungkan sebagai solusi jangka pendek untuk menjaga stabilitas pasokan.

Kendala Produksi Domestik dan Potensi Impor

Menurut Djoko Widajatno, Dewan Penasihat Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), tantangan produksi nikel di Indonesia saat ini disebabkan oleh tiga hal utama. Pertama, adanya keterlambatan persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang menjadi acuan operasional tambang. Kedua, kondisi cuaca yang kurang bersahabat dengan curah hujan tinggi. Ketiga, adanya kesenjangan antara kebutuhan bijih nikel dengan volume RKAB yang telah disetujui.

“Total kebutuhan bijih nikel dalam negeri mencapai sekitar 300 juta ton, sementara RKAB yang telah disetujui baru 270 juta ton,” jelas Djoko. Situasi ini membuat sejumlah smelter harus mencari alternatif sumber bahan baku, salah satunya melalui impor dari Filipina.

Berita soal peningkatan impor bijih nikel tersebut muncul setelah perusahaan tambang Filipina, DMCI Holdings Inc., menyampaikan klaim ketersediaan pasokan ke pasar Indonesia. Namun, Ketua Umum Forum Industri Nikel Indonesia (FINI), Arif Perdana Kusumah, menilai volume impor sebenarnya tidak akan sebesar yang diberitakan.

Menurut Arif, sejumlah smelter memang mengalami kendala pasokan, tidak hanya dari sisi kuantitas, tetapi juga terkait kualitas bijih nikel, terutama kandungan silica dan magnesium yang tidak memenuhi standar. Meski begitu, data produksi bijih nikel domestik menunjukkan tren positif.

Sepanjang kuartal I 2025, produksi bijih nikel mencapai 56,7 juta ton, atau sekitar 29,83 persen dari target produksi tahun ini. Angka tersebut meningkat tajam sebesar 254 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Hingga Mei 2025, total produksi nasional sudah mencapai 105,65 juta ton, dan jika tren ini berlanjut, target 190 juta ton pada 2025 berpotensi terlampaui.

Hilirisasi dan Tantangan Harga Global

Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Sudirman Widhy, menganggap wacana impor bijih nikel dari Filipina sebagai bagian dari dinamika industri yang menunjukkan kemajuan hilirisasi di Indonesia. “Faktanya, Indonesia sudah mampu mengolah bijih nikel menjadi produk bernilai tambah, sementara Filipina masih mengekspor bijih mentah,” ujarnya.

Sudirman juga menilai bahwa impor bijih nikel justru bisa memperkuat ketahanan pasokan bahan baku dalam negeri. Dengan diversifikasi sumber pasokan, industri hilirisasi nikel di Indonesia tidak sepenuhnya bergantung pada produksi domestik yang masih menghadapi kendala.

Namun, ia menegaskan bahwa persepsi pasar terhadap stabilitas pasokan tetap menjadi faktor penting. Ketidakpastian pasokan nikel domestik bisa menimbulkan keraguan investor untuk menanamkan modal dalam proyek hilirisasi. Oleh karena itu, menjaga kestabilan suplai menjadi kunci agar industri tetap menarik di mata para pelaku usaha.

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat cadangan bijih nikel Indonesia mencapai sekitar 5,32 miliar ton dari total sumber daya sekitar 18,55 miliar ton. APNI mencatat saat ini terdapat 147 proyek smelter nikel di Indonesia, terdiri dari 120 proyek pirometalurgi (RKEF) dan 27 proyek hidrometalurgi (HPAL). Total kebutuhan bijih nikel dari smelter ini mencapai 735,2 juta ton.

Untuk mendukung kegiatan produksi, RKAB nikel 2025 yang telah disetujui mencapai 364 juta ton, naik dari 319 juta ton pada 2024. Namun, tidak semua smelter berproduksi penuh. Tekanan dari harga nikel global yang melemah sejak awal tahun membuat beberapa smelter menurunkan output untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan.

Penurunan permintaan global dan ketidakpastian geopolitik menjadi penyebab utama koreksi harga nikel yang berdampak pada margin industri pengolahan. “Beberapa smelter mengurangi produksi untuk menyeimbangkan suplai dan permintaan global, sehingga harga nikel bisa kembali pada level keekonomian,” ujar Sudirman.

Situasi saat ini memperlihatkan bahwa kendati produksi bijih nikel domestik masih berpotensi besar dan sedang dalam tren positif, tantangan dalam proses persetujuan, cuaca, dan ketidaksesuaian kualitas bijih menjadi hambatan nyata. Oleh karena itu, impor dari Filipina menjadi opsi strategis agar industri pengolahan tetap berjalan optimal tanpa terganggu oleh pasokan yang tidak stabil.

Dengan perhatian yang cermat pada keberlanjutan produksi dalam negeri sekaligus membuka ruang untuk impor bijih nikel yang berkualitas, Indonesia berupaya menjaga momentum transformasi industri nikel menuju penguatan hilirisasi dan daya saing global.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index