JAKARTA - Transformasi ekonomi Indonesia melalui hilirisasi sumber daya alam menunjukkan kemajuan signifikan, terutama di sektor pertambangan. Namun, lonjakan produksi akibat hilirisasi belum sepenuhnya diimbangi dengan kesiapan infrastruktur logistik yang memadai. Ketimpangan ini dinilai dapat menghambat daya saing nasional jika tak segera ditangani secara menyeluruh.
Dalam forum diskusi daring bertajuk HK ExperTalk Webinar Series yang dihelat oleh Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM bersama PT Hutama Karya, para pakar dan pemangku kebijakan menyampaikan pandangan terkait urgensi penguatan infrastruktur sebagai penopang hilirisasi dan industrialisasi nasional.
Ketimpangan Antara Produksi dan Infrastruktur Logistik
Keberhasilan kebijakan larangan ekspor bijih nikel sejak 2020 telah menjadi tonggak penting dalam upaya hilirisasi. Nilai ekspor produk turunan nikel meningkat drastis dari USD 1,1 miliar menjadi sekitar USD 30–33 miliar pada 2022. Namun, seiring pertumbuhan masif ini, muncul paradoks baru.
Ir. Ikaputra, M.Eng., Ph.D., Kepala Pustral UGM, menggarisbawahi adanya defisit daya saing struktural akibat keterbatasan infrastruktur logistik. “Kesenjangan kinerja logistik ini menunjukkan adanya defisit daya saing struktural yang menjadi hambatan serius. Infrastruktur seperti Jalan Tol Trans-Sumatra (JTTS) memegang peran vital sebagai katalisator untuk mengatasi masalah ini,” ujarnya.
Berdasarkan data Kementerian Investasi/BKPM, investasi di sektor hilirisasi mencapai Rp 375,4 triliun pada 2023, lalu naik menjadi Rp 407,8 triliun pada 2024. Sayangnya, perkembangan infrastruktur belum sebanding dengan ekspansi sektor hilirisasi tersebut.
Infrastruktur Konektivitas Jadi Prioritas Strategis
Asisten Deputi Infrastruktur Ekonomi dan Industri Kemenko Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, M. Firdausi M., menyebut bahwa konektivitas infrastruktur menjadi fondasi penting dalam mendukung program hilirisasi dan industrialisasi. Ia menegaskan, “Infrastruktur harus menghubungkan kawasan produktif dan komoditas hilirisasi prioritas serta memberi akses ke pasar.”
Ia menyampaikan bahwa salah satu arah kebijakan dalam RPJMN 2025–2029 adalah percepatan hilirisasi komoditas unggulan, antara lain nikel, tembaga, bauksit, timah, kelapa sawit, kelapa, rumput laut, dan sagu. Pengembangan aglomerasi industri tersebar pada 23 titik kawasan strategis nasional. “Peningkatan nilai tambah dapat dicapai melalui percepatan hilirisasi serta aglomerasi industri di kawasan,” jelasnya.
Jalan Tol Trans-Sumatra sebagai Tulang Punggung
Dindin Solakhuddin, Direktur Utama PT Hutama Marga Waskita, menjelaskan bahwa pembangunan Jalan Tol Trans-Sumatra menjadi kunci dalam mendukung konektivitas antar-zona ekonomi. PT Hutama Karya, kata dia, ditugaskan untuk membangun 25 ruas JTTS sepanjang 2.848 km.
“Dengan JTTS, waktu pengiriman barang bisa memangkas hingga 50% dan menurunkan biaya logistik komoditas utama sebesar 15–30%,” ungkapnya. Ia menambahkan, keberadaan JTTS juga berhasil meningkatkan volume ekspor melalui pelabuhan strategis hingga 30% dalam kurun lima tahun.
Selain menunjang industrialisasi, JTTS juga merangsang pertumbuhan sektor pariwisata dan ekonomi lokal. “Terintegrasinya JTTS dengan Bandara Kualanamu mendorong pertumbuhan wisatawan asing ke Sumut lebih dari 183%, serta menambah nilai ekonomi pariwisata Sumatera lebih dari Rp15 triliun per tahun,” ujarnya.
Belajar dari Pengalaman Global
Dr. Ir. Olly Norojono, Tenaga Ahli Pustral UGM yang juga memiliki pengalaman panjang di Asian Development Bank (ADB), turut berbagi pelajaran penting dari berbagai proyek infrastruktur di dalam dan luar negeri.
Ia menyoroti pentingnya perencanaan komprehensif dan terintegrasi, seperti yang dilakukan pada pembangunan jalan pegunungan di Papua New Guinea. Sebaliknya, ia menyebut beberapa proyek bandara domestik seperti Kertajati, Soedirman, dan Trunojoyo yang belum menunjukkan efektivitas optimal.
“Contoh lain adalah pendanaan yang kurang efisien dan berkelanjutan pada proyek sanitasi di Medan dan Yogyakarta, serta pembiayaan lingkungan di Samoa dan program e-mobility berkelanjutan,” tuturnya.
Olly menekankan bahwa pembangunan infrastruktur harus bersifat inklusif, efisien, dan berkelanjutan. Pendekatan ini menjadi syarat utama agar infrastruktur benar-benar mendukung hilirisasi yang berdampak jangka panjang pada pertumbuhan ekonomi nasional.