Pengertian Perundungan, Jenis, hingga Cara Mengatasinya

Pengertian Perundungan, Jenis, hingga Cara Mengatasinya
pengertian perundungan

Pengertian perundungan adalah tindakan menyakiti atau merendahkan orang lain yang bisa terjadi di sekolah, rumah, atau lingkungan sekitar.

Di Indonesia, kejadian semacam ini bukan hal baru, tetapi kesadaran akan bahaya dan dampaknya mulai mendapat perhatian lebih luas dalam lima hingga sepuluh tahun terakhir.

Berdasarkan data dari tren pencarian Google, minat terhadap kata “bullying” dan “perundungan” mengalami peningkatan signifikan sejak bulan September 2015. 

Ini menandakan bahwa masyarakat Indonesia mulai tertarik dan ingin tahu lebih banyak tentang persoalan ini. 

Meningkatnya rasa ingin tahu tersebut merupakan langkah positif, terutama karena pada masa lalu perundungan sering dianggap sebagai hal biasa. 

Tidak jarang perilaku ini dibungkus dalam bentuk candaan atau hanya dianggap sebagai bagian dari “kenakalan masa muda.”

Meskipun begitu, kita tidak bisa merasa tenang karena bentuk-bentuk perundungan dapat menimpa siapa saja, tanpa memandang usia. Baik anak-anak, remaja, maupun orang dewasa, semuanya berpotensi menjadi korban. 

Karena itu, penting bagi kita untuk terus membuka diri terhadap pengetahuan mengenai tindakan ini, agar lebih siap mengenali dan meresponsnya dengan tepat.

Tulisan ini disusun untuk menjadi langkah awal bagi siapa pun yang ingin memahami lebih jauh tentang perundungan. 

Kamu akan diajak menelusuri berbagai aspek mulai dari definisinya, bentuk-bentuk yang ada, dampak yang ditimbulkan, contoh perilaku, hingga berbagai upaya pencegahannya. 

Melalui pemahaman yang utuh, kita bisa menciptakan lingkungan yang lebih aman dan saling mendukung, dimulai dari mengenali pengertian perundungan secara mendalam.

Pengertian Perundungan

Awalnya, istilah yang sering digunakan untuk menyebut tindakan ini adalah "bullying" yang berasal dari bahasa Inggris. 

Namun, seiring meningkatnya perhatian masyarakat terhadap isu tersebut, istilah dalam Bahasa Indonesia pun mulai dikenal dan digunakan secara lebih luas.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian perundungan berasal dari kata dasar "rundung" atau "merundung", yang berarti mengganggu secara terus-menerus atau menyusahkan. 

Lebih lanjut, istilah ini juga merujuk pada tindakan menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikologis, dalam bentuk kekerasan yang bisa terjadi secara verbal, sosial, atau fisik, dan dilakukan secara berulang dalam kurun waktu tertentu.

Ken Rigby memaknai tindakan ini sebagai keinginan untuk menyakiti orang lain, yang biasanya dilakukan oleh individu atau kelompok yang memiliki kekuatan lebih besar, dilakukan secara berulang, dan tanpa rasa tanggung jawab. 

Sementara itu, Komisi Nasional Perlindungan Anak mendefinisikannya sebagai kekerasan fisik maupun mental yang dilakukan terus-menerus oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap individu yang tidak mampu membela dirinya sendiri.

Definisi lain menyebutkan bahwa tindakan ini dilakukan secara sengaja untuk mengintimidasi atau menakut-nakuti, hingga menimbulkan rasa takut, tidak nyaman, atau bahkan rasa tidak bahagia pada korbannya.

Berdasarkan berbagai pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa tindakan ini bertujuan menyakiti dan merugikan orang lain, baik melalui kata-kata seperti ejekan dan sindiran, ancaman, atau bahkan kontak fisik seperti memukul. 

Bentuknya bisa sangat beragam, tetapi intinya adalah menciptakan penderitaan bagi korbannya.

Masalah ini bukan hanya berdampak pada korban semata, tetapi juga memberi efek pada pelaku serta orang-orang yang menyaksikan kejadian tersebut. 

Merujuk pada data dari Unicef Indonesia yang mengutip hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja tahun 2018 oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, perundungan di Indonesia masih sangat tinggi.

Data menunjukkan bahwa dua dari tiga anak berusia 13 hingga 17 tahun—baik laki-laki maupun perempuan—pernah mengalami setidaknya satu bentuk kekerasan dalam hidup mereka. 

Tak hanya itu, tiga dari empat anak dan remaja yang pernah mengalami kekerasan menyatakan bahwa pelakunya adalah teman sebaya.

Bayangkan saja, anak-anak yang seharusnya saling bermain dan menjalin pertemanan justru menjadi pelaku dalam menciptakan ketidaknyamanan bagi temannya sendiri. Lalu, mengapa hal ini bisa terjadi?

Salah satu penyebabnya adalah karena orang dewasa sering kali memaklumi perilaku tersebut dan menganggapnya sebagai bagian dari cara anak-anak berinteraksi. 

Padahal, konsekuensi yang ditanggung oleh korban bisa berlangsung lama dan berdampak sangat serius jika tidak ditangani dengan tepat.

Contoh Perilaku Perundungan

Sebenarnya, perilaku perlindungan bisa dengan mudah dikenali dalam keseharian kita. Mulai dari suasana rumah, lingkungan sekolah, tempat bermain, hingga area publik lainnya. 

Sayangnya, tidak semua orang menyadari apa saja bentuk tindakan perundungan. Bahkan ada yang melihatnya sebagai lelucon semata atau menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang lumrah dalam keseharian atau bagian dari kebiasaan.

Agar kamu lebih peka dan bisa ikut berkontribusi dalam menurunkan angka kasus perundungan di sekitar, berikut ini merupakan beragam bentuk perundungan berdasarkan jenisnya yang penting untuk dipahami:

Tindakan Fisik

Melibatkan tindakan seperti mendorong, memukul, menjegal, meninju, menjambak, menggigit, menendang, memelintir tubuh korban, meludahi, merusak barang-barang pribadi korban, mengintimidasi secara langsung, sampai menyakiti dengan benda tajam.

Tindakan Verbal

Berupa ucapan yang menyakiti perasaan seperti menyindir, menghina, memberi julukan kasar, menyebarkan rumor negatif, mengancam, memeras, menghasut orang lain agar menjauhi korban, atau menyampaikan kejelekan secara terang-terangan.

Tindakan Nonverbal

Meliputi sikap atau gestur yang menyudutkan seperti memelototi, memalingkan muka dengan sinis, membuat ekspresi yang meremehkan, tidak melibatkan korban dalam kegiatan kelompok, memanipulasi hubungan pertemanan, hingga mengirim pesan dengan tujuan menakuti atau memprovokasi.

Tindakan Pelecehan Seksual

Bisa muncul dalam bentuk candaan jorok yang tidak pantas, komentar vulgar yang bersifat menyerang, bertanya mengenai aktivitas seksual korban dengan nada mengintimidasi, menyentuh tubuh tanpa izin, atau menjanjikan sesuatu dengan syarat imbalan seksual.

Tindakan Psikologis atau Mental

Termasuk perilaku seperti mempermalukan, mencibir, memberikan tatapan yang mengintimidasi, mengucapkan komentar menyakitkan secara langsung atau melalui pesan pribadi, dan membuat korban merasa tidak aman secara emosional.

Perundungan Bermotif Rasial

Segala bentuk perlakuan buruk yang ditujukan kepada seseorang karena latar belakang ras atau etnisnya, baik berupa ucapan maupun tindakan.

Perundungan Digital (Cyberbullying)

Muncul dalam bentuk komentar menghina di media sosial, penyebaran fitnah, pelecehan melalui platform online, serta berbagai bentuk pesan yang menjatuhkan harga diri korban melalui internet atau perangkat digital lainnya.

Unicef Indonesia menemukan fakta yang cukup mengejutkan terkait perilaku perundungan. Hasil ini bersumber dari riset yang dijalankan oleh Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA) pada tahun 2018. 

Dalam laporan tersebut, tercatat bahwa sebanyak 41% siswa laki-laki dan perempuan yang berusia 15 tahun mengaku pernah mengalami perundungan setidaknya beberapa kali dalam sebulan. Bentuk perlakuan yang diterima pun beragam, seperti:

Jenis PerundunganSiswa PerempuanSiswa Laki-laki
Didorong untuk melakukan sesuatu atau dipukul12,8%23,1%
Barang pribadi dirusak atau diambil18,7%25,2%
Mendapatkan ancaman19,4%18,2%
Dihina atau diejek19,4%25,6%
Sengaja dijauhkan dari lingkungan sosial16,7%21,4%
Menjadi sasaran rumor buruk16,4%24,2%

Jika dilihat dari data tersebut, jelas bahwa tindakan intimidasi bisa menimpa siapa saja, baik perempuan maupun laki-laki, dan dapat terjadi di antara teman sebaya.

Unsur-unsur Perundungan

Menurut Diena Haryana, terjadinya tindakan intimidasi melibatkan tiga elemen penting, yakni individu yang melakukan, individu yang menjadi sasaran, dan orang yang menyaksikan. 

Di sisi lain, menurut Coloroso, terdapat empat komponen utama yang memicu munculnya perilaku ini, yaitu ketimpangan kekuasaan, adanya tujuan tertentu, potensi tindakan agresif, dan intimidasi yang berkelanjutan. Berikut uraian lengkapnya:

Individu yang Melakukan

Orang yang melakukan tindakan ini biasanya memiliki keunggulan atau kekuatan lebih besar daripada yang menjadi sasaran. Karakteristiknya kerap meliputi sikap mudah marah, postur tubuh lebih besar, serta memiliki kekuatan fisik yang lebih dominan.

Individu yang Menjadi Sasaran

Pihak yang menjadi target umumnya menunjukkan kesamaan sifat, antara lain postur tubuh lebih kecil, tingkat kepercayaan diri yang rendah, serta kadang memiliki kelebihan yang memicu rasa iri dari pelaku.

Orang yang Menyaksikan

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, selain pelaku dan korban, kehadiran orang yang menyaksikan kejadian juga menjadi bagian dari dinamika ini. 

Umumnya, mereka terbagi dalam dua sikap utama: mendukung dan memberi semangat kepada pelaku, atau justru memilih diam tanpa menunjukkan kepedulian.

Ketimpangan Kekuasaan

Biasanya, pelaku memiliki keunggulan dalam bentuk kekuatan tertentu dibandingkan korban. Keunggulan ini bisa berupa usia yang lebih tua, kemampuan fisik yang lebih kuat, kelancaran berbicara, atau status sosial yang lebih tinggi. 

Selain itu, ketidakseimbangan ini bisa pula bersumber dari jumlah, seperti ketika pelaku beraksi bersama kelompoknya sehingga merasa lebih percaya diri untuk melakukan intimidasi.

Tujuan Tertentu

Perilaku ini tidak terjadi secara kebetulan, melainkan karena adanya keinginan dari pelaku untuk menyakiti korbannya, baik secara fisik maupun emosional. 

Pelaku memperoleh kepuasan tersendiri melalui tindakan yang melukai atau merendahkan pihak lain.

Potensi Tindakan Agresif

Ancaman agresif merujuk pada kesadaran baik dari pelaku maupun korban bahwa perilaku tersebut bisa kembali terjadi. Oleh sebab itu, tidak tepat jika kejadian semacam ini dianggap sebagai insiden sekali waktu.

Intimidasi Berkelanjutan

Perilaku ini merupakan bagian dari pola kekerasan yang dilakukan secara terus-menerus demi mempertahankan posisi dominan dari pelaku. 

Rasa takut yang dialami korban bukan hanya merupakan dampak dari tindakan tersebut, tetapi sekaligus menjadi bagian dari proses yang dilakukan secara sistematis.

Jenis-jenis Perundungan

Perundungan merupakan tindakan yang dilakukan secara sengaja dan sadar oleh seseorang untuk menyakiti orang lain. 

Jika melihat dari definisi dan komponen-komponen yang menyertainya, perilaku ini dapat muncul dalam berbagai bentuk, seperti:

  • Kekerasan fisik
  • Ucapan menyakitkan
  • Isyarat atau sikap non-verbal
  • Tindakan yang menjurus pada pelecehan seksual
  • Gangguan terhadap kondisi mental
  • Perundungan karena perbedaan ras
  • Serangan melalui dunia digital

Secara umum, seluruh bentuk perundungan tersebut dapat digolongkan menjadi dua jenis utama, yaitu perundungan tradisional dan perundungan digital. 

Perundungan tradisional merupakan jenis yang terjadi secara langsung di lingkungan sehari-hari dan dapat dilihat secara fisik.

Sementara itu, perundungan digital atau yang terjadi di dunia maya dilakukan melalui internet. Di awal kemunculan internet di Indonesia, bentuk ini belum banyak muncul dan belum menjadi perhatian. 

Namun, seiring dengan kemajuan teknologi digital, perundungan jenis ini semakin sering terjadi di berbagai platform, seperti media sosial hingga kolom komentar pada portal berita online.

Dampak Perundungan

Tindakan intimidasi saat ini telah menjadi perilaku menyimpang yang memberi dampak buruk dan menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. 

Dampak buruk dari tindakan ini tidak hanya dirasakan oleh orang yang menjadi sasaran, tetapi juga dapat memengaruhi pelaku, pengamat, hingga komunitas tempat kejadian berlangsung.

Efek yang ditimbulkan bisa menyentuh aspek kesehatan fisik maupun kondisi emosional. 

Dalam kasus yang sangat parah, perilaku ini bahkan bisa menjadi pemicu terjadinya tindakan ekstrem yang membahayakan diri sendiri ataupun orang lain. 

Contohnya termasuk melukai diri, menyakiti orang lain, bahkan mengancam masa depan seseorang.

Berikut ini merupakan beberapa dampak nyata yang kerap dirasakan oleh pihak yang menjadi korban:

  • Mengalami tekanan batin, perasaan gelisah, kekhawatiran berlebih, dan kemarahan
  • Sulit tidur atau mengalami gangguan pola tidur
  • Mengeluh sakit secara fisik seperti nyeri di bagian perut, kepala, atau ketegangan otot
  • Merasa tidak nyaman atau takut berada di area yang sama dengan pelaku
  • Kehilangan semangat dalam menjalani hidup
  • Dalam situasi tertentu, korban bisa menunjukkan perilaku agresif
  • Menanggung luka psikologis yang mendalam
  • Prestasi akademik atau kinerja menurun drastis
  • Muncul dorongan untuk mengakhiri hidup
  • Mengalami kesulitan saat harus beradaptasi ketika tumbuh dewasa
  • Cenderung gagal menjalin hubungan romantis yang sehat
  • Merasa sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja
  • Menghindari interaksi sosial
  • Meninggalkan rumah tanpa kejelasan arah atau tujuan

Sementara itu, orang yang melakukan tindakan intimidasi juga tidak lepas dari efek buruk. Di antaranya:

  • Sering terlibat dalam bentrokan fisik
  • Menunjukkan perilaku kasar terhadap orang lain
  • Dikenal sebagai penyebab masalah di lingkungan pendidikan
  • Berpotensi melakukan tindakan melanggar hukum

Bagi orang-orang yang menjadi saksi dari peristiwa intimidasi, mereka juga bisa terdampak secara psikologis, seperti:

  • Menjadi pribadi yang mudah merasa takut dan tidak percaya diri
  • Mengalami gangguan kecemasan
  • Kehilangan rasa aman terhadap dirinya sendiri

Gangguan suasana hati seperti depresi juga kerap dialami oleh mereka yang terlibat dalam situasi tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Korban Perundungan

Sebagian besar insiden perundungan justru terjadi di lingkungan sekolah, sebuah kenyataan yang cukup mengganggu dan bertentangan dengan harapan. 

Umumnya, masyarakat Indonesia memandang sekolah sebagai tempat yang relatif lebih aman dibandingkan lingkungan tempat tinggal maupun keluarga.

Hal ini disebabkan karena di sekolah, siswa-siswa mendapat pengawasan lebih intensif dari tenaga pendidik. 

Sementara itu, di rumah dan lingkungan sekitar, pengawasan biasanya hanya terjadi dalam waktu-waktu tertentu seperti sepulang sekolah, saat bermain, atau menjelang tidur. 

Situasi ini menyulitkan proses identifikasi terhadap siapa yang menjadi pelaku maupun korban dari tindakan perundungan. Oleh karena itu, penting untuk memahami siapa saja yang bisa menjadi korban dan mengenali gejala yang mungkin muncul.

Dalam karya berjudul Lets End Bullying: Memahami, Mencegah, dan Mengatasi Bullying, Andi Priyatna mengungkapkan bahwa korban dalam konteks ini adalah individu yang secara sengaja, baik secara langsung maupun tidak, menjadi sasaran perilaku orang lain yang menyebabkan meningkatnya rasa rapuh serta berkurangnya rasa aman dalam diri.

Dengan demikian, yang dimaksud korban tak hanya terbatas pada mereka yang secara langsung mengalami perundungan, melainkan juga mencakup individu yang hanya menyaksikan kejadian tersebut secara pasif.

Sebagian besar individu yang mengalami perundungan cenderung menahan diri untuk tidak membicarakan pengalaman buruknya kepada orang dewasa. 

Hal ini muncul dari rasa kurang percaya atau merasa bahwa orang dewasa tidak akan menanggapi serius, karena kerap menganggap perundungan sebagai hal remeh. 

Akibatnya, korban merasa tidak memiliki tempat untuk bersandar atau mencari pertolongan. Jika dibiarkan dalam jangka waktu lama, dampaknya bisa semakin memburuk. 

Korban bisa mengalami berbagai permasalahan psikologis, seperti perasaan sedih berkepanjangan, kecemasan berlebih, depresi, kehilangan semangat, harga diri yang menurun, mengisolasi diri dari lingkungan sosial, bahkan sampai menggunakan zat terlarang sebagai bentuk pelarian.

Selain itu, ada sejumlah ciri lain yang bisa menjadi tanda seseorang menjadi korban perundungan, seperti:

  • Barang-barang milik pribadi kerap hilang secara misterius
  • Mengalami luka secara fisik
  • Pakaian atau barang lainnya dalam keadaan rusak
  • Lebih nyaman berteman dengan siswa yang lebih muda karena kesulitan berbaur dengan teman seumuran
  • Merasa tidak tenang saat jam istirahat sekolah
  • Sering datang terlambat ke sekolah
  • Sering menyendiri di lingkungan sekolah
  • Pola tidur terganggu, bisa tidur berlebihan atau kurang tidur
  • Mengeluh sakit secara fisik seperti pusing, perut nyeri, kehilangan nafsu makan, kelelahan, atau sering merasa tidak enak badan
  • Emosi mudah meledak, cenderung marah atau merasa sedih tanpa alasan jelas
  • Kerap melawan saat merasa terpojok
  • Mudah merasa tersinggung
  • Menjadi sangat pendiam dan canggung
  • Sering merasa dirinya yang salah dalam berbagai situasi

Tanda-tanda tersebut perlu dikenali sejak dini agar korban dapat segera mendapatkan dukungan dan perlindungan yang dibutuhkan.

Cara Mencegah dan Mengatasi Perundungan

Keterlibatan Orang Tua dalam Pencegahan Tindakan Intimidasi

Peran keluarga, khususnya orang tua di rumah, serta pendidik di sekolah sangat penting dalam mencegah maupun menangani perilaku intimidatif. 

Langkah awal yang dapat dilakukan adalah mengenali lebih dulu apakah anak mereka terlibat sebagai korban, pelaku, atau hanya sebagai saksi. 

Salah satu cara efektif untuk mengetahui hal ini adalah dengan rutin menjalin komunikasi bersama anak, baik saat di rumah maupun setelah pulang dari sekolah. 

Obrolan yang dilakukan bisa dimulai dari topik ringan seperti pelajaran di kelas, lalu secara perlahan menyisipkan pertanyaan yang menyentuh aspek hubungan sosial dan pertemanan.

Contoh pertanyaan yang dapat diajukan antara lain: “Tadi waktu istirahat, kamu main apa saja dan sama siapa?” atau “Apa kabar temannya yang waktu itu sempat main ke rumah?” 

Jika anak menunjukkan perubahan emosi, terutama perasaan tidak nyaman saat membahas teman-temannya, maka orang tua dan guru perlu segera mencari tahu lebih dalam penyebabnya.

Langkah-Langkah yang Bisa Diambil oleh Guru untuk Mencegah Intimidasi

Berdasarkan panduan dari Unicef, ada beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh guru agar dapat menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan bebas dari perilaku menyakiti sesama, antara lain:

  • Menyampaikan informasi serta memberikan pengetahuan tentang bahaya intimidasi melalui bahan bacaan atau diskusi langsung dengan para siswa.
  • Membuat aturan yang jelas dan tegas mengenai konsekuensi terhadap perilaku tersebut, serta menyepakatinya bersama seluruh murid.
  • Membangun iklim kelas yang ramah, penuh dukungan, dan menciptakan relasi yang positif antar siswa, sekaligus mendorong keterlibatan aktif di kelas.
  • Memberi perhatian khusus kepada siswa yang berpotensi menjadi sasaran intimidasi seperti siswa baru, anak yang memiliki kondisi fisik lebih lemah, penyandang disabilitas, atau yang pernah menyampaikan keluhan telah disakiti oleh teman sebayanya.

Langkah Menyikapi Tindakan Intimidasi

Menghadapi perilaku menyakitkan bukanlah hal yang mudah bagi mereka yang menjadi korban maupun yang menyaksikannya. Namun, hal ini tetap dapat diatasi melalui beberapa tindakan berikut:

  • Ceritakan pengalaman tersebut kepada seseorang yang dapat dipercaya, seperti orang tua, guru, teman dekat, saudara, atau pasangan.
  • Segera sampaikan kejadian kepada pihak yang berwenang menangani pelanggaran di lingkungan sekolah seperti guru wali kelas atau konselor.
  • Ketika harus bertemu langsung dengan pelaku, tampilkan sikap percaya diri agar terlihat tidak lemah.
  • Jika perlu berbicara langsung, gunakan kalimat yang tegas namun tetap tenang, tanpa melibatkan kemarahan.
  • Tetapkan batasan yang sehat agar konflik bisa ditangani secara bijak dan tidak terus berlarut.
  • Jika situasi memburuk atau sudah ada ancaman serius, jangan ragu meminta bantuan pada aparat penegak hukum.
  • Apabila tekanan sudah mengganggu kesehatan mental atau fisik, segera temui tenaga profesional seperti psikolog atau dokter yang berkompeten.

Tindakan yang Dapat Dilakukan oleh Saksi

Bagi individu yang melihat langsung terjadinya intimidasi, ada sejumlah cara yang bisa dilakukan untuk ikut mencegah atau menghentikannya, antara lain:

  • Tanyakan langsung kepada pelaku tentang perilakunya. Misalnya, apakah ia menyadari bahwa tindakannya dapat melukai orang lain, dan apa yang mendorongnya melakukan hal tersebut.
  • Ajak pelaku melakukan aktivitas lain yang lebih positif untuk mengalihkan fokusnya dari korban.
  • Libatkan saksi lain yang juga melihat kejadian tersebut dan secara bersama-sama menunjukkan bahwa perilaku menyakitkan itu tidak bisa dibenarkan.
  • Beri dukungan kepada korban dengan menghampiri dan menyampaikan bahwa mereka tidak sendirian dalam menghadapi situasi tersebut.
  • Bila tidak memungkinkan untuk turun tangan secara langsung, laporkan kejadian tersebut ke pihak yang berwenang agar segera mendapat penanganan.

Perilaku menyakitkan seperti ini akan terus terjadi apabila tidak ada upaya nyata dan serius untuk menghentikannya. 

Oleh karena itu, penting bagi setiap orang untuk memahami secara menyeluruh tentang apa yang dimaksud dengan intimidasi agar tidak keliru dalam mengambil tindakan.

Sebagai penutup, memahami pengertian perundungan membantu kita lebih peka terhadap tanda-tandanya dan mendorong terciptanya lingkungan yang aman bagi semua orang.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index