JAKARTA - Perjalanan Indonesia menuju target net zero emission (NZE) atau emisi nol bersih tidaklah mudah, terutama jika menilik sektor pertambangan yang masih mengandalkan kendaraan berbahan bakar fosil. Transportasi tambang yang belum ramah lingkungan menjadi salah satu penghalang utama dalam upaya menekan emisi.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep), Bisman Bakhtiar, mengungkapkan bahwa sektor tambang saat ini masih menjadi penyumbang emisi yang besar. Aktivitas produksi batu bara yang terus meningkat setiap tahun, ditambah penggunaan alat berat dan kendaraan operasional berbahan bakar minyak, membuat pengurangan emisi di sektor ini terasa berat.
“Sangat berat menerapkan upaya NZE di pertambangan. Saat ini pertambangan batu bara berjalan dengan sangat ekspansif, bahkan tiap tahun naik produksi. Sedangkan operasi pertambangan juga masih menjadi sumber emisi besar. Kendaraan dan alat berat masih menggunakan BBM energi fosil yang beremisi tinggi,” kata Bisman.
Menurutnya, meski pemerintah telah melakukan sejumlah upaya untuk mendorong transisi energi, kecepatan pencapaian target NZE masih tertahan oleh hambatan regulasi. Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) yang diharapkan menjadi payung hukum utama belum juga disahkan.
“Sudah lebih dari 5 tahun dibahas oleh DPR dan pemerintah, tetapi tidak selesai,” ujarnya menekankan.
Perlu Dukungan Insentif untuk Transportasi Hijau di Tambang
Selain regulasi, pihak swasta yang bergerak di sektor pertambangan juga dihadapkan pada tuntutan untuk mempercepat transisi energi, khususnya di lini transportasi. Ketua Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batubara Indonesia (Aspebindo), Anggawira, menilai perusahaan tambang harus mulai melirik teknologi ramah lingkungan untuk kendaraan dan alat berat.
Ia menegaskan bahwa upaya ini tidak bisa hanya berupa wacana, melainkan perlu langkah nyata, mulai dari reforestasi lahan pascatambang hingga pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) untuk mendukung elektrifikasi di area tambang.
“Pemerintah perlu memberikan insentif fiskal dan kemudahan perizinan untuk tambang yang mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), reforestasi, atau elektrifikasi alat berat,” kata Anggawira.
Dengan langkah-langkah tersebut, sektor tambang diharapkan dapat lebih cepat menurunkan emisi sekaligus mendukung komitmen nasional terhadap target NZE. Perubahan ini bukan hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga citra perusahaan di mata publik dan investor global yang semakin peduli pada keberlanjutan.