JAKARTA - Musim panas di Jepang kembali memecahkan rekor dengan suhu udara yang menembus angka 41,8 derajat Celsius. Lonjakan suhu ini menjadi peringatan serius tentang dampak perubahan iklim yang kian nyata di Negeri Sakura, sekaligus mengganggu aktivitas warga, sektor pertanian, hingga pariwisata.
Badan cuaca Jepang melaporkan bahwa pada Selasa (5/8/2025), suhu panas ekstrem tercatat di area kota Isesaki. Awalnya, termometer menunjukkan 41,6 derajat Celsius, sebelum naik lagi menjadi 41,8 derajat Celsius dalam hitungan jam. Otoritas Tokyo pun mengeluarkan peringatan bahwa suhu udara berpotensi naik lebih tinggi.
Pencapaian ini memecahkan rekor yang baru saja tercatat di wilayah Hyogo pekan sebelumnya, yang mencapai 41,2 derajat Celsius. Kondisi ini menambah panjang catatan gelombang panas yang mempengaruhi Jepang dalam beberapa tahun terakhir.
Dampak Perubahan Iklim Terasa Nyata
Para ahli menilai, kenaikan suhu ekstrem ini erat kaitannya dengan perubahan iklim global. Cuaca semakin tidak menentu, dan musim panas di Jepang menjadi lebih panjang serta panas dari tahun ke tahun. Musim panas 2024 disebut-sebut sebagai yang terpanas sejak pencatatan dimulai 126 tahun lalu, dan kini 2025 kembali mencatatkan rekor baru.
Fenomena ini juga membawa dampak pada lingkungan. Pohon sakura yang menjadi ikon pariwisata Jepang mengalami siklus mekar yang tidak stabil. Beberapa mekar lebih awal dari biasanya, sementara sebagian lain justru gagal mekar sempurna karena musim gugur dan musim dingin terlalu hangat.
Di Gunung Fuji, lapisan salju yang biasanya muncul di awal Oktober bahkan baru terlihat pada awal November tahun lalu, menjadi periode terlama tanpa salju yang pernah tercatat.
Tantangan bagi Warga dan Sektor Pertanian
Kondisi panas yang ekstrem ini tidak hanya mengganggu kenyamanan, tetapi juga memicu risiko kesehatan serius, terutama heatstroke yang mengancam kelompok lansia. Pemerintah Jepang terus mengimbau warganya untuk berteduh di ruangan berpendingin dan membatasi aktivitas di luar rumah saat siang hari.
Sementara itu, sektor pertanian menghadapi tantangan baru. Kekurangan hujan yang terjadi bersamaan dengan gelombang panas mengakibatkan bendungan dan persawahan mengalami penurunan pasokan air. Para petani melaporkan keterlambatan penanaman padi karena suhu terik dan rendahnya curah hujan.
Data badan cuaca menunjukkan bahwa bulan Juli 2025 menjadi bulan terpanas sejak 1898, dengan suhu rata-rata naik 2,89 derajat Celsius dibandingkan rata-rata periode 1991–2020. Curah hujan di wilayah utara yang menghadap Laut Jepang bahkan mencatat rekor terendah, sementara musim penghujan di bagian barat berakhir tiga pekan lebih cepat dari normal.
Peningkatan suhu yang ekstrem ini menunjukkan bahwa Jepang tidak bisa menghindar dari dampak krisis iklim. Pemerintah dan masyarakat harus semakin siap menghadapi risiko kesehatan, lingkungan, dan ekonomi yang ditimbulkan oleh gelombang panas yang makin sering terjadi.