Pahami Apa Itu Protektif hingga Perbedaannya dengan Posesif

Pahami Apa Itu Protektif hingga Perbedaannya dengan Posesif
apa itu protektif

Memahami apa itu protektif menjadi langkah awal yang penting sebelum terjun kembali dalam hubungan asmara. 

Banyak orang pernah mengalami pahitnya perpisahan karena dianggap terlalu posesif, hingga akhirnya hubungan tersebut tidak lagi berjalan dengan sehat. 

Ironisnya, mereka yang bersikap posesif sering kali tidak menyadari bahwa tindakannya justru membatasi dan mengekang pasangan.

Sebelum memulai kisah cinta yang baru, penting bagi seseorang untuk lebih dahulu melakukan introspeksi diri. Dengan begitu, ia bisa menghindari kecenderungan bersikap posesif dan justru menumbuhkan sikap protektif yang sehat. 

Tujuannya tentu agar hubungan yang dijalani ke depan tidak berakhir dengan kegagalan yang sama. Namun, supaya kamu tidak keliru dalam memahami kedua sikap tersebut, penting untuk mengetahui secara jelas perbedaan antara posesif dan protektif.

Dengan mengenali perbedaannya, kamu akan lebih mampu membangun hubungan yang sehat dan saling mendukung, karena sejatinya itulah makna dari apa itu protektif dalam konteks cinta dan komitmen.

Apa Itu Protektif?

Sering kali, sikap posesif dan protektif dianggap serupa. Padahal menurut pandangan para ahli psikologi, keduanya merupakan dua hal yang berbeda. Kedua sikap ini memang dapat muncul dalam dinamika hubungan romantis. 

Beberapa orang mungkin merasa nyaman dengan perlakuan semacam itu, namun sebagian lainnya justru merasa terganggu.

Lalu, apa sebenarnya perbedaan utama antara posesif dan protektif? Apakah keduanya memiliki kesamaan tertentu? Atau mungkin, keduanya justru berkaitan erat satu sama lain? 

Untuk menjawabnya, mari kita telaah lebih dalam dari perspektif psikologis mengenai apa itu protektif dan bagaimana sikap ini berbeda dari posesif.

Menurut Gracia Ivonika, M.Psi., perbedaan paling jelas antara posesif dan protektif terletak pada tujuannya dan tingkat intensitasnya. 

Seseorang yang posesif biasanya beralasan bahwa tindakannya demi kebaikan pasangan, padahal sebenarnya itu dilakukan sepihak. 

Sebaliknya, sikap protektif berlandaskan pada upaya menjaga kenyamanan dan keamanan yang disepakati oleh kedua belah pihak.

Dalam ulasan dari WebMD, sikap posesif sering muncul akibat rasa takut yang berlebihan akan kehilangan. 

Individu yang bersikap posesif merasa cemas pasangannya akan pergi atau mengkhianatinya. Perasaan ini bisa memunculkan emosi negatif seperti ketakutan, kesedihan, bahkan kemarahan.

Rasa posesif biasanya dipicu oleh pengalaman tidak menyenangkan dalam hubungan sebelumnya, seperti dikhianati atau kehilangan kepercayaan. 

Akibatnya, mereka merasa pasangan saat ini harus selalu dalam pengawasan, karena ada ketakutan mendalam untuk kembali terluka. Ini bisa berubah menjadi kelekatan yang tidak sehat, yang dibalut dengan alasan tidak bisa berjauhan dari pasangan.

Gracia menjelaskan bahwa posesif lebih berorientasi pada kepentingan pribadi dan cenderung egois. Dalam pola pikir orang yang posesif, pasangan dianggap sebagai milik pribadi. 

Segala hal yang menurut dirinya tidak pantas atau tidak menyenangkan, otomatis dilarang atau dihindari oleh pasangannya, terlepas dari sudut pandang si pasangan itu sendiri. Berbeda dengan posesif, sikap protektif lebih berakar pada perasaan cinta.

Carla Marie Manly, Ph.D., seorang psikolog klinis dari Well and Good, menyebutkan bahwa orang yang benar-benar mencintai pasangannya akan menunjukkan perhatian terhadap keselamatan dan kesejahteraannya. 

Mereka akan berupaya memberikan perlindungan tanpa melampaui batas. Meski begitu, penting untuk dicatat bahwa sikap protektif yang berlebihan tetap bisa berubah menjadi posesif.

Gracia juga menekankan bahwa tingkat kenyamanan terhadap sikap posesif berbeda-beda tergantung pribadi masing-masing. 

Meski begitu, posesif umumnya tidak mempertimbangkan kenyamanan pasangan, karena lebih berfokus pada perasaan diri sendiri.

Sedangkan untuk sikap protektif, apakah pasangan merasa nyaman atau tidak juga bergantung pada komunikasi dalam hubungan itu sendiri. 

Bisa jadi, ada seseorang yang memiliki sifat protektif, tetapi pasangannya tidak menyukai pendekatan seperti itu, terlebih jika belum pernah dibicarakan atau disepakati bersama. 

Oleh karena itu, kenyamanan dalam bersikap—baik protektif maupun posesif—perlu dikomunikasikan secara terbuka agar hubungan tetap sehat dan seimbang.

Perbedaan Protektif dan Posesif

Terdapat perbedaan yang cukup tipis antara menjaga dengan niat baik dan perilaku mengontrol secara berlebihan. Individu yang terlalu mendominasi cenderung ingin menguasai sepenuhnya, bahkan hingga membatasi ruang gerakmu. 

Bila merasa keberadaan orang-orang di sekitarmu dapat mengganggu hubungannya, ia bisa saja mencoba menjauhkanmu dari keluarga atau teman. 

Ia juga tak ragu melanggar batas pribadi dengan membuka ponsel, memeriksa histori penelusuran internet, dan tindakan sejenis hanya demi memantau setiap aktivitasmu.

Lebih dari itu, orang dengan sifat dominan semacam ini kerap berusaha mengubah kepribadianmu. 

Ia bisa mempertanyakan banyak hal, memberikan kritik tajam, bahkan membuatmu merasa rendah diri ketika apa yang kamu lakukan tak sesuai dengan keinginannya. 

Dalam banyak kasus, ia akan membuatmu merasa seolah segala ucapannya mutlak dan harus dipercayai.

Berbeda halnya dengan seseorang yang ingin memastikan keselamatan dan kenyamananmu. Ia cenderung menunjukkan kepedulian dengan cara memastikan kamu dalam kondisi baik. 

Kadang, ia mungkin meminta agar kamu tidak bepergian sendirian saat malam. Ia pun cenderung bersikap protektif terhadap orang yang menurutnya berpotensi menyakitimu, dan berani membelamu ketika ada yang bersikap kasar.

Meski demikian, kewaspadaan perlu dijaga karena bentuk perhatian yang berlebihan pun bisa berdampak negatif dalam hubungan. 

Pasangan yang terlalu menjaga bisa saja tanpa sadar mengambil alih kendali atas kebebasanmu, bahkan memicu rasa cemas yang tak perlu.

Menjaga Berdasarkan Kepedulian, Menguasai Berangkat dari Rasa Memiliki

Perbedaan mendasar antara keduanya terletak pada cara memandang pasangan. Ketika seseorang menjaga dengan tulus, ia tidak memandang pasangannya sebagai sesuatu yang bisa dikendalikan sesuka hati. 

Ia menghargai keberadaan pasangannya dan mengutamakan kebahagiaan serta keselamatannya. Sebaliknya, rasa ingin memiliki lebih menitikberatkan pada siapa yang memiliki siapa, sehingga menimbulkan rasa takut kehilangan yang berlebihan.

Menunjukkan Kepedulian Tanpa Membatasi, Berusaha Menguasai dengan Aturan Ketat

Mungkin kamu pernah merasa perlu mengetahui isi ponsel pasangan, bertanya terus-menerus saat ia pergi, atau meneleponnya berkali-kali dalam sehari. Tindakan seperti ini bukanlah bentuk perhatian yang sehat, melainkan bentuk kontrol yang merusak. 

Jika kamu benar-benar peduli, seharusnya kamu memberikan ruang gerak yang nyaman tanpa membuatnya merasa terbelenggu.

Mengawasi dengan Wajar, Ikut Campur secara Berlebihan

Seseorang yang merasa tidak tenang jika tidak tahu ke mana pasangannya pergi dan ingin selalu ikut bisa menjadi tanda adanya dinamika yang tidak sehat. 

Hal ini mencerminkan kurangnya rasa percaya, baik terhadap pasangan maupun terhadap diri sendiri. Kecemasan bahwa posisimu akan tergantikan sering kali tidak didasari alasan yang jelas.

Membangun Kepercayaan, Bukan Menumbuhkan Kecurigaan

Orang yang menjaga dengan penuh kepercayaan akan menerima penjelasan pasangannya dengan tenang. 

Namun, mereka yang selalu mencurigai, mudah menuduh, dan merasa pasangannya berselingkuh di belakangnya hanya menunjukkan rasa takut yang berlebihan, bukan kasih sayang.

Memberi Ruang untuk Berteman, Bukan Melarang Koneksi Sosial

Seseorang yang bisa menerima kenyataan bahwa pasangannya berteman dengan lawan jenis menunjukkan rasa percaya yang sehat. Ia tidak mencurigai atau melarang, apalagi jika hubungan itu sudah terjalin sejak lama. 

Di sisi lain, orang yang mengontrol akan memaksa pasangannya untuk memutus hubungan pertemanan hanya karena alasan yang tidak masuk akal. 

Tindakan ini tidak hanya membatasi, tetapi juga menandakan bahwa ia merasa memiliki hak untuk mengatur semuanya.

Memberi Arahan dengan Alasan, Bukan Menentukan Semua Tanpa Penjelasan

Keduanya memang bisa terlihat mirip jika dilihat sepintas. Namun, bedanya sangat terasa ketika kamu memperhatikan dinamika hubungan yang sedang dijalani. 

Pasangan yang terlalu mengatur akan menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan tanpa membuka ruang diskusi. 

Sementara itu, yang benar-benar peduli akan menyampaikan alasannya terlebih dahulu sebelum menyarankan sesuatu, dan bersedia mendengarkan tanggapan dari pasangannya.

Dengan memahami semua perbedaan tersebut secara menyeluruh, kamu bisa mulai mengevaluasi bagaimana pola hubungan yang sedang kamu jalani. 

Jangan sampai perhatian yang terlihat manis di permukaan justru menjadi kendali yang merugikan dirimu dalam jangka panjang.

Cara Mengelola Perilaku Overprotektif

Ketika seseorang menjalin hubungan dengan pasangan yang terlalu mengontrol dengan dalih melindungi, kerap kali ia merasa terjebak dalam situasi yang membuatnya kehilangan kebahagiaan dan rasa cinta yang sebelumnya tumbuh. 

Pasangan dengan kecenderungan dominan dan suka mengatur biasanya tidak menyadari bahwa perilakunya justru menyakiti secara emosional, mengikis rasa nyaman serta perasaan sayang yang ada.

Jika kamu berada dalam hubungan semacam ini, penting untuk mengambil langkah untuk memperbaiki situasi sebelum hubungan tersebut semakin memburuk dalam jangka panjang. 

Namun, menghadapi pasangan yang terlalu mengatur tidak perlu dilakukan dengan penuh tekanan. Dikutip dari salah satu sumber, berikut enam langkah yang dapat diterapkan untuk mengelola pasangan dengan perilaku semacam itu:

1. Bangun Dialog yang Jujur dan Terbuka

Menghindari diskusi atau menyimpan unek-unek justru bisa memperkeruh keadaan. Ajak pasanganmu berbicara dari hati ke hati. Coba gali lebih dalam akar dari perasaan negatif, kecemasan berlebih, atau rasa takut kehilangan yang mereka rasakan.

Mungkin mereka memiliki pengalaman masa lalu yang berat, seperti pola asuh yang kurang sehat saat kecil, trauma akibat ditinggalkan oleh seseorang yang mereka sayangi, atau luka dari hubungan sebelumnya yang diwarnai dengan perselingkuhan atau ketidaksetiaan. 

Hal-hal seperti ini sering kali membentuk karakter yang terlalu mengatur dan membuat hubungan menjadi tegang.

Apabila pasanganmu sering bersikap terlalu mengontrol, mudah curiga, atau menunjukkan perilaku membatasi di depan umum, itu bisa jadi refleksi dari ketakutan akan ditinggalkan. 

Dorong mereka untuk mengungkapkan keresahan yang mereka rasakan, dan dengarkan tanpa menghakimi. Sikap ini dapat membuka jalan untuk menyembuhkan rasa takut yang mungkin belum pernah tersentuh sebelumnya.

Sebagai contoh, bila mereka merasa kamu akan melakukan hal serupa seperti yang dilakukan mantan mereka, yakinkan bahwa kamu bukan orang yang sama dan tidak layak diperlakukan atas dasar pengalaman buruk mereka di masa lalu.

Amati pula apa yang memicu kecemasan mereka. Apakah ada sosok tertentu yang membuat mereka cemburu? Apakah cara kamu bersosialisasi memengaruhi perasaan mereka? 

Misalnya, mereka mungkin tidak masalah ketika kamu berbincang dengan lawan jenis, tetapi mulai merasa tidak nyaman saat kamu melakukan sentuhan fisik seperti pelukan. 

Jika itu terjadi, kamu bisa menyesuaikan bahasa tubuhmu untuk menciptakan rasa aman dalam hubungan.

2. Sepakati Batasan Sehat untuk Mengontrol Rasa Cemburu

Kejujuran adalah fondasi penting dalam hubungan, tetapi setelah pasanganmu menyampaikan apa yang membuat mereka tidak nyaman, kini giliranmu untuk menetapkan hal-hal yang kamu anggap penting dan tidak bisa ditawar, terutama jika berkaitan dengan kebebasan pribadi yang selama ini dirasa terbatasi.

Ungkapkan dengan tegas namun tetap tenang bahwa meski kamu bersedia membantu mereka merasa lebih aman, kamu tidak akan mengorbankan bagian-bagian penting dalam hidupmu demi menenangkan perasaan mereka semata. 

Misalnya, kamu tidak bisa dipaksa memutus hubungan pertemanan dengan orang-orang yang telah menjadi bagian penting dalam hidupmu sejak lama.

Di saat yang sama, kamu juga perlu menunjukkan komitmen untuk membangun kepercayaan dalam hubungan. 

Misalnya, akan lebih bijak jika kamu memberitahu pasangan ketika akan makan malam bersama teman lawan jenis, daripada membuat mereka tahu belakangan dan merasa dikhianati.

Meskipun kamu terbiasa melakukan berbagai kegiatan sosial dengan bebas, menjalin relasi romantis menuntutmu untuk tetap memperhatikan perasaan pasangan. 

Buatlah daftar hal-hal yang penting bagimu dan hal-hal yang tidak bisa kamu kompromikan. Diskusikan batasan tersebut secara jelas. 

Setelah itu, semuanya kembali kepada pasanganmu—apakah mereka bersedia memperbaiki sikap yang merugikan atau tetap bertahan dalam pola lama.

3. Jangan Malu Menunjukkan Rasa Sayang

Banyak hubungan mengalami keretakan karena satu pihak merasa tidak dicintai. Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan sibuk, kadang kita lupa mengungkapkan perasaan secara verbal. 

Padahal, kata-kata sederhana seperti “aku sayang kamu” bisa sangat berarti dan membantu menjaga koneksi emosional.

4. Libatkan Pasangan dalam Pertemananmu

Salah satu cara yang dapat membantu meredakan rasa takut kehilangan dari pasangan yang terlalu mengontrol adalah dengan memperkenalkannya kepada teman-teman terdekatmu. 

Ketika dia melihat bagaimana kamu bersosialisasi dengan mereka dan menyaksikan interaksi yang alami dan terbuka, kemungkinan besar perasaan curiga atau cemasnya akan berkurang.

Mengikutsertakannya dalam aktivitas sosial bersama rekan-rekanmu juga bisa menjadi bukti bahwa kamu tidak menyembunyikan apa pun. Ini akan membantu membangun rasa aman dalam dirinya dan mengurangi potensi kecurigaan yang tidak berdasar.

5. Manfaatkan Pendekatan Psikologis Secara Bijak

Menghadapi pasangan yang terlalu mengatur bisa menimbulkan ketegangan dalam hubungan. Cobalah berbicara dengan pendekatan yang membuat mereka menyadari bahwa perilaku tersebut justru menciptakan jarak dan ketidaknyamanan. 

Ketika ia menunjukkan kecemburuan saat kamu bersosialisasi, gunakan kesempatan itu untuk menjelaskan bagaimana sikap tersebut membuatmu merasa tidak bebas.

Kadang, dengan menyampaikan bahwa tindakan mereka berpotensi merusak hubungan, pasangan bisa mulai memahami dampak dari sikapnya. 

Bahkan jika kamu sudah berusaha menunjukkan bahwa dirimu setia dan tidak akan meninggalkannya, tetap penting untuk mengutarakan perasaanmu secara jujur saat ia menunjukkan reaksi defensif. 

Ini bisa menjadi jalan baginya untuk merenung dan memperbaiki cara bersikap dalam hubungan.

6. Tumbuhkan Rasa Saling Percaya

Kepercayaan merupakan fondasi yang tidak bisa digantikan dalam sebuah hubungan yang sehat, baik itu dengan pasangan maupun dalam hubungan keluarga. 

Bila kamu memiliki anak yang sudah menginjak usia remaja, tidak ada keharusan untuk selalu membatasi ruang geraknya. Yang dibutuhkan adalah pengawasan dari kejauhan, bukan kontrol penuh seperti terhadap balita. 

Percayakan bahwa dia bisa membuat pilihan sendiri, dan peranmu cukup memberi arahan, bukan mendikte.

Hal serupa juga berlaku dalam hubungan romantis. Ketika kamu menunjukkan bahwa kamu mempercayai pasanganmu, dia akan merasa dicintai dan dihargai. 

Perasaan tersebut membuatnya berkembang sebagai individu yang tetap memiliki jati diri, meskipun berada dalam sebuah ikatan.

7. Ketika Semua Usaha Tidak Membawa Perubahan, Pertimbangkan untuk Mengakhiri

Tidak ada yang layak terus-menerus dipaksa mengikuti kehendak orang lain dalam sebuah hubungan. 

Jika kamu sudah berupaya semaksimal mungkin untuk memperbaiki keadaan, namun pasangan tetap tidak bersedia berubah, bahkan semakin bersikap kasar, maka mungkin sudah saatnya kamu mempertimbangkan untuk pergi.

Rasa cemburu sesekali adalah hal yang wajar dan dapat muncul dalam hubungan yang sehat. Namun, jika perasaan itu berubah menjadi obsesi dan kontrol berlebihan, maka hubungan tersebut bisa menjadi sumber luka batin dan stres emosional. 

Ketika pasangan mulai memperlakukanmu seolah kamu tidak memiliki kehendak bebas, sudah waktunya kamu mempertimbangkan langkah-langkah yang realistis. Coba terapkan beberapa strategi yang telah dijelaskan sebelumnya untuk mengelola situasi. 

Namun, jika setelah semua itu pasangan tetap bertahan pada perilaku yang menyakitkan, tidak ada salahnya untuk memilih keluar demi menjaga kesehatan mental dan emosionalmu sendiri.

Sebagai penutup, memahami apa itu protektif dapat membantu kita menjalin hubungan yang sehat tanpa harus melanggar batas pribadi pasangan maupun diri sendiri.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index