JAKARTA - Pasar otomotif China kembali menunjukkan betapa cepatnya perubahan industri mampu mengguncang strategi raksasa global. Mitsubishi Motors Corporation akhirnya resmi menutup babak panjang perjalanannya di Negeri Tirai Bambu, setelah mengakhiri kerja sama joint venture dengan Shenyang Aerospace Mitsubishi. Keputusan ini bukan sekadar langkah mundur, tetapi juga refleksi atas realitas baru: dominasi kendaraan energi baru (new energy vehicles/NEV) yang perlahan menyingkirkan mesin pembakaran internal.
Dari Pabrik Mesin ke Akhir Kerja Sama
Sejak berdiri pada Agustus 1997, Shenyang Aerospace Mitsubishi menjadi pilar utama strategi Mitsubishi di China. Pabrik yang beroperasi sejak 1998 itu memproduksi mesin untuk mobil merek Mitsubishi maupun pabrikan lokal. Namun pada 2 Juli 2025, nama perusahaan resmi berubah menjadi Shenyang Guoqing Power Technology Co., Ltd., setelah Mitsubishi Motors dan Mitsubishi Corporation keluar sebagai pemegang saham.
Dalam pernyataannya, Mitsubishi menegaskan bahwa "perubahan cepat industri otomotif China" menjadi alasan utama keputusan hengkang. Hal ini sejalan dengan evaluasi ulang prioritas bisnis mereka di kawasan Asia.
Perjalanan Mitsubishi di pasar China sesungguhnya sudah dimulai jauh lebih lama, tepatnya pada 1973 melalui ekspor truk medium-duty. Di awal 2000-an, dua joint venture mesin Mitsubishi bahkan memasok powertrain untuk sekitar 30 persen mobil yang diproduksi di dalam negeri. Namun, dominasi perlahan terkikis seiring melonjaknya tren kendaraan listrik dan anjloknya permintaan mesin konvensional.
GAC Mitsubishi: Dari Puncak Hingga Terpuruk
Harapan sempat tumbuh ketika GAC Mitsubishi berdiri pada 2012. Dengan komposisi saham 50% GAC, 30% Mitsubishi Motors, dan 20% Mitsubishi Corporation, kolaborasi ini melahirkan optimisme. Tahun 2018 bahkan menjadi titik cerah dengan penjualan mencapai 144 ribu unit, di mana Outlander SUV menyumbang 105.600 unit.
Sayangnya, era keemasan itu tidak bertahan lama. Penjualan menurun drastis menjadi hanya 33.600 unit pada 2022. Merek-merek kendaraan listrik lokal, seperti BYD, semakin mendominasi dan mempersempit ruang bagi produk bermesin bensin.
Kesulitan itu tercermin dari kondisi finansial GAC Mitsubishi. Hingga 31 Maret 2023, aset perusahaan tercatat 4,198 miliar yuan (sekitar Rp9,58 triliun), sementara liabilitas mencapai 5,613 miliar yuan (sekitar Rp12,79 triliun). Situasi tersebut meninggalkan nilai bersih minus 1,414 miliar yuan, setara -Rp3,22 triliun.
Oktober 2023 menjadi titik balik penting. Mitsubishi mengumumkan penghentian produksi lokal dan merestrukturisasi operasinya di China. GAC kemudian mengambil alih penuh joint venture tersebut dan pada Juni 2024 resmi mengalihfungsikan pabriknya untuk produksi massal mobil listrik Aion.
Simbol Pergeseran Pasar Otomotif China
Langkah Mitsubishi menutup kiprah bisnisnya mencerminkan betapa ketatnya tantangan yang dihadapi pabrikan asing di China. Pasar otomotif terbesar dunia itu kini menjadi arena kompetisi utama kendaraan listrik. Produsen global pun sering kali kesulitan bersaing dengan merek lokal yang lebih cepat berinovasi dan lebih dekat dengan konsumen.
Analis industri Chen Liwei menilai langkah Mitsubishi ini menegaskan arah perubahan yang tak terbantahkan. "Lanskap otomotif China telah menjadi medan pertempuran bagi inovasi kendaraan listrik, di mana produsen mobil lama kesulitan bersaing," katanya. "Mundurnya Mitsubishi menunjukkan pergeseran yang tak terelakkan menuju solusi lokal," tegasnya.
Dengan hengkangnya Mitsubishi, peta persaingan otomotif di China semakin menegaskan satu hal: masa depan industri ini ada pada elektrifikasi, sementara era mesin pembakaran internal kian mendekati akhir.