OJK

Aturan Baru OJK Perketat Peran Lender di Fintech

Aturan Baru OJK Perketat Peran Lender di Fintech
Aturan Baru OJK Perketat Peran Lender di Fintech

JAKARTA - Perubahan lanskap industri fintech peer-to-peer (P2P) lending kembali terjadi di tahun 2025. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 19 Tahun 2025 yang secara khusus menyoroti pengaturan lender ritel. Kebijakan ini diharapkan dapat memperkuat fondasi industri sekaligus memberikan kepastian hukum bagi para pemberi dana, terutama individu yang terlibat sebagai penyedia modal.

Dalam aturan baru tersebut, OJK membagi lender ritel ke dalam beberapa klasifikasi. Untuk kategori individu profesional, ditetapkan syarat penghasilan bruto tahunan di atas Rp500 juta. Ketentuan ini menjadi dasar pembeda antara lender profesional dan non-profesional, meskipun pengaturan lebih lanjut mengenai kelompok non-profesional akan dituangkan dalam ketentuan lanjutan.

Kebijakan ini tidak hadir dalam ruang hampa. Sejak beberapa tahun terakhir, OJK aktif merumuskan regulasi terkait fintech lending, mulai dari syarat borrower hingga limitasi dana yang dapat dikucurkan lender. Dorongan ini lahir dari kebutuhan menjaga keseimbangan antara pertumbuhan industri yang pesat dan perlindungan konsumen yang memadai.

Pengetatan Batas Dana dan Perlindungan Konsumen

OJK sebelumnya juga menetapkan sejumlah aturan yang memengaruhi lender maupun borrower. Salah satunya adalah ketentuan minimal usia borrower, yakni 18 tahun atau sudah menikah, serta persyaratan pendapatan minimal Rp3 juta per bulan bagi calon peminjam.

Di sisi lender, OJK membatasi kontribusi dana berdasarkan klasifikasi. Bagi lender profesional, total dana yang boleh disalurkan kepada satu penyelenggara fintech maksimal 20% dari pendapatan tahunan. Sementara lender non-profesional, dengan penghasilan Rp500 juta per tahun atau kurang, hanya boleh menyalurkan hingga 10% per penyelenggara. Lebih jauh, mulai Januari 2028, outstanding mereka tidak boleh melampaui 20% dari total kontribusi.

Regulasi ini dipandang penting untuk mencegah risiko konsentrasi pendanaan, di mana satu pihak terlalu dominan dalam menyalurkan modal. Selain itu, pembatasan bunga harian juga diberlakukan dengan menyesuaikan sektor pinjaman, baik konsumtif, produktif mikro, maupun usaha kecil, serta mempertimbangkan tenor pinjaman.

Upaya ini sejalan dengan strategi OJK dalam meningkatkan perlindungan konsumen. Regulator meminta setiap penyelenggara fintech lending memperkuat sistem mitigasi risiko dan tata kelola internal. Apabila ditemukan pelanggaran, sanksi administratif dapat dijatuhkan guna menjaga kepercayaan masyarakat.

Modal Minimum dan Reformulasi Aturan Pendanaan

Selain fokus pada lender dan borrower, OJK juga memperketat modal minimum penyelenggara fintech lending. Per 4 Juli 2024, setiap platform diwajibkan memiliki modal ekuitas minimum Rp7,5 miliar. Pada tahun berikutnya, jumlah ini ditingkatkan menjadi Rp12,5 miliar.

Langkah ini dimaksudkan untuk memastikan hanya penyelenggara yang memiliki kapasitas finansial memadai yang dapat bertahan dan berkembang dalam industri. Dengan begitu, stabilitas ekosistem lebih terjamin, sekaligus mendorong kompetisi yang sehat.

Tak hanya itu, OJK juga tengah menyiapkan reformulasi aturan batas atas pendanaan. Dalam rancangan RPOJK terbaru, regulator mengevaluasi kembali limit produk produktif yang sebelumnya ditetapkan maksimal Rp2 miliar. Penyesuaian batas pendanaan diharapkan mampu menyeimbangkan kebutuhan ekspansi usaha dengan risiko gagal bayar yang mungkin timbul.

Industri Tetap Tumbuh di Tengah Regulasi

Meski dihadapkan pada berbagai regulasi ketat, industri fintech lending masih menunjukkan performa positif. Hingga November 2024, laba bersih tercatat Rp1,27 triliun, atau meningkat 108% secara tahunan. Capaian ini menandakan bahwa penguatan aturan tidak menghambat pertumbuhan, melainkan justru memperkuat fondasi bisnis.

Optimisme ini juga sejalan dengan target OJK untuk menciptakan industri yang inklusif sekaligus berkelanjutan. Dengan pengaturan yang jelas, lender dan borrower dapat merasa lebih terlindungi. Pada akhirnya, regulasi diharapkan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap fintech lending sebagai salah satu alternatif pendanaan yang sah dan aman.

Arah Baru Industri Fintech Lending

Kehadiran SEOJK Nomor 19 Tahun 2025 menjadi bagian dari rangkaian panjang upaya pemerintah menata sektor teknologi keuangan. Pembagian kategori lender, penetapan batas kontribusi, hingga persyaratan modal minimum merupakan elemen penting dalam membangun ekosistem yang sehat.

Bagi lender, aturan ini memberikan panduan jelas mengenai porsi investasi yang aman. Bagi borrower, regulasi memastikan adanya perlindungan dari praktik yang tidak sehat. Dan bagi penyelenggara, keharusan memenuhi standar modal serta manajemen risiko menjadi tantangan sekaligus peluang untuk memperkuat daya saing.

Pada akhirnya, kombinasi regulasi dan pertumbuhan pasar memberi sinyal bahwa industri fintech lending Indonesia memasuki babak baru. Bukan sekadar mengejar pertumbuhan cepat, tetapi juga mengutamakan keberlanjutan dan perlindungan bagi seluruh pihak yang terlibat.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index