Nikel

Pemerintah Naikkan Tarif Royalti Nikel dan Emas, Industri Pertambangan Beri Tanggapan

Pemerintah Naikkan Tarif Royalti Nikel dan Emas, Industri Pertambangan Beri Tanggapan
Pemerintah Naikkan Tarif Royalti Nikel dan Emas, Industri Pertambangan Beri Tanggapan

JAKARTA – Pemerintah Indonesia tengah merampungkan kebijakan kenaikan tarif royalti untuk komoditas mineral, khususnya nikel dan emas. Kebijakan ini akan diterapkan secara progresif, mengikuti fluktuasi Harga Mineral Acuan (HMA). Meskipun bertujuan meningkatkan penerimaan negara, kebijakan ini menuai berbagai tanggapan dari pelaku industri.

Kenaikan Tarif Royalti Berdasarkan Jenis Mineral

Menurut informasi yang dihimpun, tarif royalti untuk bijih nikel yang sebelumnya flat 10% kini akan diberlakukan secara progresif, berkisar antara 14% hingga 19% tergantung HMA. Sementara itu, tarif royalti untuk nikel matte akan meningkat dari sebelumnya flat 2% menjadi 4,5%–6,5%.

Selain itu, ferro nikel dan nikel pig iron yang sebelumnya dikenakan tarif flat 5% juga akan mengalami perubahan menjadi 5%–7%. Skema progresif ini bertujuan untuk menyesuaikan penerimaan negara dengan harga pasar global.

Untuk komoditas emas, tarif royalti juga mengalami lonjakan signifikan. Sebelumnya, tarif berkisar 3,75%–10%, kini akan meningkat menjadi 7%–16% bergantung pada harga emas di pasar dunia.

Regulasi Sedang Dikebut, Ditargetkan Terbit Sebelum Lebaran

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Tri Winarno, mengonfirmasi bahwa revisi peraturan terkait kenaikan tarif royalti sudah berada di Kementerian Sekretariat Negara. Ia optimistis kebijakan ini bisa diterbitkan dalam waktu dekat.

“Kami berharap regulasi ini bisa segera rampung dan diterbitkan sebelum Lebaran. Dengan skema progresif ini, pemerintah ingin memastikan bahwa penerimaan negara meningkat seiring dengan kenaikan harga komoditas,” ujar Tri Winarno.

Pelaku Industri Minta Sosialisasi Lebih Luas

Namun, kebijakan ini mendapat respons beragam dari pelaku industri pertambangan. Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) menilai kenaikan tarif royalti berpotensi mengurangi daya tarik investasi di sektor tambang dan hilirisasi.

“Tarif yang lebih tinggi tentu akan berdampak pada biaya operasional. Kami berharap ada sosialisasi lebih luas agar industri dapat beradaptasi dengan kebijakan ini,” ujar perwakilan APBI.

Para pelaku industri khawatir bahwa kenaikan tarif ini akan mengurangi daya saing Indonesia di pasar internasional.

Indonesia Berpotensi Punya Tarif Royalti Tertinggi

Dengan kenaikan tarif royalti bijih nikel menjadi 14%–19%, Indonesia berpotensi menjadi salah satu negara dengan tarif royalti nikel tertinggi di dunia. Beberapa negara penghasil nikel lain, seperti Filipina dan Rusia, memiliki tarif royalti yang lebih rendah, sehingga bisa lebih kompetitif dalam menarik investasi.

Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor. Mereka berharap pemerintah tetap mempertimbangkan keseimbangan antara penerimaan negara dan daya tarik industri pertambangan.

Pemerintah Indonesia terus mematangkan kebijakan kenaikan tarif royalti untuk komoditas nikel dan emas. Meskipun bertujuan meningkatkan penerimaan negara, kebijakan ini perlu dikaji lebih lanjut agar tidak menghambat investasi di sektor pertambangan.

Dengan target penerbitan sebelum Lebaran, pemerintah diharapkan dapat memberikan sosialisasi yang cukup bagi pelaku industri agar transisi ke tarif baru dapat berjalan lebih lancar.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index