Panas Bumi

Gelombang Penolakan Proyek Energi Panas Bumi Menguat: Warga Kepulauan Desak Pemerintah Cabut Izin

Gelombang Penolakan Proyek Energi Panas Bumi Menguat: Warga Kepulauan Desak Pemerintah Cabut Izin
Gelombang Penolakan Proyek Energi Panas Bumi Menguat: Warga Kepulauan Desak Pemerintah Cabut Izin

JAKARTA - Penolakan terhadap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) terus meluas. Dari Sumatera hingga Nusa Tenggara Timur (NTT), puluhan warga yang terdampak proyek energi panas bumi dan korban lumpur panas Lapindo menyuarakan keresahan mereka dalam kegiatan Kemah Tabor di Mataloko, Flores, yang berlangsung pada 26–29 Mei 2025.

Acara ini menjadi ajang konsolidasi warga dari berbagai wilayah seperti Sumatera, Jawa, Flores, dan Lembata yang menyatakan sikap tegas menolak keberadaan proyek PLTP. Mereka menilai proyek-proyek tersebut tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga merampas ruang hidup dan hak masyarakat.

“Hari ini, tubuh kepulauan Indonesia sedang dijarah tanpa henti, warga negara yang menghuni pulau disakiti, ditakut-takuti dan diusir dari rumahnya, mirip sebuah negeri dibawa penjajah,” ujar Romo Firminus Doi Koban, Koordinator Pemberdayaan Ekonomi Rakyat Keuskupan Larantuka.

Romo Firminus menggambarkan kondisi yang terjadi di banyak daerah akibat ekspansi energi panas bumi sebagai bentuk baru dari kolonialisme. Menurutnya, gunung digali, sungai tercemar, hutan digunduli, dan laut ditimbun atas nama kepentingan industri dan pemasukan negara. Ia menyebut pemerintah tidak lagi berdiri di pihak rakyat, melainkan menjadi perpanjangan tangan korporasi perusak lingkungan.

Sistem yang Membungkam Aspirasi Rakyat

Ahmad Roihan, perwakilan dari Mandailing Natal, Sumatera Utara, menilai bahwa kerangka hukum dan regulasi yang seharusnya melindungi rakyat justru dijungkirbalikkan demi melanggengkan kepentingan investasi.

“Rakyat tidak buta terhadap retorika baru tentang energi hijau, baterai masa depan, hilirisasi dan transisi energi. Itu hanya topeng dari ekstraktivisme dan kolonialisme lama yang kini memakai jubah baru,” tegas Ahmad.

Senada dengan itu, Harwati, perwakilan warga korban lumpur Lapindo dari Sidoarjo, Jawa Timur, mengungkapkan luka mendalam yang masih dirasakan masyarakat sejak tragedi Lapindo. Ia menyebut ribuan warga kehilangan tempat tinggal, namun negara seolah tutup mata.

“Ingat kami adalah penjaga bumi, pembela hidup, pewaris tanah air. Cabut semua izin tambang, panas bumi, dan proyek energi hijau yang merampas tanah dan merusak lingkungan,” serunya.

Status Proyek Dinilai Ilegal dan Tidak Transparan

Melky Nahar, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), mengkritik keras pelaksanaan proyek panas bumi di Flores dan Lembata yang menurutnya dijalankan tanpa partisipasi publik.

“Sejak penetapan lokasi hingga pengeboran, sama sekali tidak melibatkan aspirasi warga. Kalau kita bicara dari sudut pandang warga, sebetulnya itu ilegal,” katanya.

Ia menyebut sosialisasi baru dilakukan setelah proses berjalan, yang membuat warga tidak diberi ruang untuk menolak atau memberikan masukan dari awal.

Mendesak Cabut Status ‘Pulau Panas Bumi’

Desakan juga datang dari Antonius Anu, warga Mataloko, Kabupaten Ngada. Ia menuntut agar pemerintah segera mencabut Keputusan Menteri ESDM Nomor 2268 K/30/MEM/2017 yang menetapkan Flores sebagai Pulau Panas Bumi.

“Audit dan hukum korporasi serta pejabat negara yang terlibat dalam perampasan ruang hidup rakyat. Pemerintah harus berhenti mengkriminalisasi warga dan aktivis yang memperjuangkan hak hidup,” tegasnya.

Toni juga menekankan pentingnya menjadikan kebutuhan masyarakat dan kearifan lokal sebagai dasar pembangunan sektor energi, bukan hanya demi keuntungan elite atau investor.

“Bumi ini bukan warisan segelintir elit, melainkan milik seluruh makhluk hidup dan generasi yang akan datang,” katanya.

Penolakan dari Gereja Hingga Pemerintah Daerah

Penolakan juga datang dari enam uskup di wilayah NTT. Mereka menilai bahwa kondisi geografis Flores dan Lembata tidak cocok untuk proyek panas bumi karena kondisi topografi pegunungan dan sumber air permukaan yang terbatas.

“Pilihan eksploitatif ini bertentangan dengan arah pembangunan utama wilayah ini, yang mestinya fokus pada pariwisata, pertanian, perkebunan, peternakan, dan kelautan,” ujar para uskup dalam pernyataannya.

Menanggapi polemik ini, Gubernur NTT Laka Lena menyatakan bahwa pemerintah telah membentuk tim investigasi independen untuk mengkaji proyek panas bumi secara objektif dan mencegah klaim sepihak. Tim ini melibatkan unsur pemerintah, perusahaan, tokoh adat, tokoh agama, dan ahli lingkungan.

“Pemerintah pada dasarnya menginginkan yang terbaik bagi masyarakat dalam setiap pelaksanaan proyek, termasuk proyek panas bumi,” jelas Laka Lena dalam rapat pada 9 April 2025.

Laka Lena juga meminta para bupati dan wakil bupati merespons cepat dinamika sosial yang muncul akibat proyek tersebut.

PLN: Kebutuhan Energi Masih Dominan Fosil

Sementara itu, dari sisi penyedia energi, Eko Sulistyo, Manajer PLN Unit Induk Wilayah NTT, menyebut bahwa proyek panas bumi penting untuk mengurangi ketergantungan energi fosil di Flores.

“Kelistrikan di Flores saat ini masih sangat bergantung pada energi fosil, dengan porsi mencapai 85 persen dari total kapasitas daya sebesar 104,2 megawatt. Karena itu, diperlukan pemanfaatan energi baru terbarukan,” katanya.

Namun di tengah urgensi transisi energi, suara-suara dari akar rumput menunjukkan bahwa proses transisi yang dijalankan tanpa keterlibatan warga hanya akan memunculkan ketidakadilan baru, mengulangi pola kolonialisme atas nama pembangunan hijau.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index