JAKARTA - Aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil Indonesia terus berlangsung meskipun undang-undang secara tegas melarangnya. Padahal, eksploitasi sumber daya mineral di pulau kecil berisiko merusak ekosistem pesisir, menghancurkan keanekaragaman hayati, dan mempercepat ancaman tenggelamnya pulau-pulau tersebut akibat perubahan iklim dan degradasi lingkungan.
Pulau kecil didefinisikan sebagai pulau dengan luas kurang dari atau sama dengan 2.000 kilometer persegi beserta kesatuan ekosistemnya. Dalam banyak kasus, kerusakan akibat tambang di pulau kecil bersifat permanen dan berdampak langsung terhadap masyarakat lokal, terutama yang menggantungkan hidup dari laut dan sektor pesisir.
Pelarangan tambang di pulau kecil diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pasal 35 huruf i, j, dan k menyebutkan secara eksplisit bahwa kegiatan penambangan pasir, minyak, gas, serta mineral tidak diperbolehkan jika menimbulkan kerusakan ekologis, sosial, dan budaya, atau merugikan masyarakat.
Sayangnya, kenyataan di lapangan jauh dari semangat perlindungan lingkungan dalam undang-undang tersebut. Aktivitas tambang masih dijumpai di berbagai pulau kecil. Pengajuan izin usaha pertambangan (IUP) terus dilakukan, dan ironisnya, sebagian besar permohonan ini dikabulkan oleh pejabat pemerintah terkait.
Belum lama ini, sorotan publik mengarah ke kegiatan tambang nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Terdapat lima perusahaan yang memiliki IUP di wilayah ini: PT Gag Nikel, PT Anugerah Surya Pratama, PT Mulia Raymond Perkasa, PT Kawei Sejahtera Mining, dan PT Nurham. Meskipun pemerintah telah mencabut IUP empat dari lima perusahaan tersebut, satu perusahaan, yakni PT Gag Nikel, masih tetap diizinkan beroperasi.
Pemerintah menyatakan keputusan untuk tetap mengizinkan satu perusahaan tersebut diambil berdasarkan pertimbangan legal, historis, dan hasil verifikasi di lapangan. Namun keputusan itu menuai kritik, karena membuka celah pembenaran untuk tambang lain di pulau kecil.
Dalam kasus ini, banyak pihak menilai bahwa pemberian izin tambang di pulau kecil bukan hanya bentuk kelalaian administratif, tetapi juga menunjukkan adanya celah regulasi dan tumpang tindih kebijakan antar lembaga pemerintah. Proses perizinan yang tidak selaras antara Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Undang-Undang Minerba menyebabkan IUP dapat diterbitkan lebih dulu, bahkan sebelum dilakukan verifikasi aspek lingkungan dan lokasi.
Masalah ini diperparah oleh adanya dugaan praktik kolusi antara elit politik dan pengusaha tambang, yang saling memanfaatkan situasi demi keuntungan ekonomi jangka pendek. Izin tambang yang diterbitkan kemudian dijadikan dalih oleh perusahaan untuk menjalankan kegiatan penambangan di wilayah yang jelas-jelas dilarang oleh hukum.
Meski pelarangan eksploitasi tambang di pulau kecil telah ditegaskan tidak hanya dalam undang-undang, tetapi juga melalui keputusan Mahkamah Konstitusi, praktiknya tetap tidak surut. Salah satu permohonan uji materi terhadap pasal pelarangan tambang di pulau kecil bahkan pernah ditolak oleh Mahkamah, mempertegas bahwa larangan tersebut bersifat final dan mengikat.
Penting untuk diketahui bahwa pemanfaatan pulau kecil seharusnya diprioritaskan untuk kegiatan konservasi, pendidikan, penelitian, budidaya laut, pariwisata berkelanjutan, pertanian organik, dan usaha kelautan serta perikanan yang ramah lingkungan. Tambang bukan bagian dari pemanfaatan yang direkomendasikan, apalagi dalam skala industri.
Desakan agar pemerintah menghentikan seluruh aktivitas tambang di pulau kecil datang dari berbagai kelompok masyarakat sipil. Mereka menuntut evaluasi menyeluruh terhadap semua IUP yang berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Selain itu, muncul pula dorongan agar dilakukan audit terhadap regulasi yang memungkinkan terbitnya izin tambang secara bertentangan dengan hukum lingkungan.
Di sisi lain, pihak pemerintah mengakui bahwa terdapat kelemahan koordinasi antar lembaga dan tumpang tindih regulasi yang membuat pengawasan menjadi lemah. Regulasi mengenai wilayah pesisir dan pulau kecil belum sepenuhnya harmonis dengan peraturan di sektor pertambangan.
Penting bagi pemerintah untuk segera membenahi regulasi, menyelaraskan aturan antar lembaga, serta memperkuat pengawasan terhadap aktivitas industri ekstraktif di wilayah-wilayah rentan. Pulau kecil, sebagai bagian dari ekosistem pesisir yang unik dan penting, seharusnya dijaga dan dilindungi demi keberlanjutan lingkungan dan masa depan generasi mendatang.
Apabila penambangan di pulau kecil terus dibiarkan, bukan hanya ekosistem yang rusak, tetapi juga kepercayaan publik terhadap komitmen pemerintah dalam menjaga kelestarian lingkungan.