KULINER

Bubur Ase Khas Betawi: Warisan Kuliner Langka yang Masih Bertahan

Bubur Ase Khas Betawi: Warisan Kuliner Langka yang Masih Bertahan
Bubur Ase Khas Betawi: Warisan Kuliner Langka yang Masih Bertahan

JAKARTA  — Dalam semarak peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-498 Jakarta, aneka kuliner khas Betawi kembali diangkat ke permukaan oleh para pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Di antara sajian-sajian legendaris seperti kerak telor dan soto Betawi, ada satu kudapan yang menyedot perhatian karena keunikannya dan statusnya yang nyaris langka: bubur Ase atau bubur asinan semur.

Di salah satu bazar perayaan HUT Jakarta yang digelar di Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat, hidangan tradisional ini kembali mengisi ruang-ruang nostalgia masyarakat Betawi. Sajian yang identik dengan rasa manis, asam, gurih dan segar ini kembali hadir berkat kegigihan salah satu pelaku UMKM bernama Neneng Kholilah.

Menjaga Warisan Lewat Dapur

Neneng telah menjajakan bubur Ase sejak tahun 2010. Keputusan itu bukan sekadar soal berdagang, tetapi lebih pada usaha menjaga warisan kuliner Betawi agar tidak punah di tengah gempuran makanan modern. Ia melanjutkan tradisi sang ibunda yang lebih dulu berjualan bubur Ase di berbagai acara kampung hingga bazar.

“Sekitar tahun 2010 deh mulai usaha. Selain itu saya juga ada bikin akar kelapa khas Betawi, biji ketapang, putu mayang, ketupat sayur,” kata Neneng.

Keputusannya untuk tetap setia berjualan bubur Ase tidak semata mencari keuntungan. Dalam sehari, Neneng mengaku hanya bisa menjual sekitar 10 hingga 15 porsi saat mengikuti bazar. Namun, hal itu tidak menyurutkan semangatnya. Harga per porsi hanya Rp 10.000, cukup terjangkau bagi masyarakat luas.

“Karena kan jarang sekali ada yang jual, palingan bubur ayam biasa ya, bubur ayam Cirebon atau apa ya. Tapi ini emang jarang,” ujarnya sambil tersenyum.

Cita Rasa yang Khas dan Kaya Tekstur

Bagi yang belum mengenal bubur Ase, sajian ini menawarkan pengalaman rasa yang unik dan kompleks. Tidak seperti bubur ayam pada umumnya, bubur Ase menggunakan isian berupa asinan dan kuah semur yang disiram di atas bubur putih kental.

Isian asinan terdiri dari tauge, sawi asin, lobak, hingga ketimun, sementara kuah semurnya adalah campuran semur tahu, kentang, serta bumbu rempah yang menghasilkan rasa manis gurih khas Betawi. Kuah ini kemudian menyatu dengan keasaman dari asinan dan pelengkap seperti kacang tanah, kerupuk sagu berwarna merah muda, dan emping.

Dalam satu suapan, Anda bisa merasakan perpaduan rasa manis, asam, gurih, serta sedikit pedas—kombinasi yang membuatnya begitu menggoda. Bubur Ase bukan hanya makanan, tetapi refleksi dari karakter budaya Betawi yang terbuka dan kaya ragam.

“Rasanya unik, enggak seperti bubur biasanya. Ada rasa manis dari semur, asam dari sayurnya, terus ada kriuk dari emping dan kerupuk. Komplit banget,” ujar salah satu pengunjung bazar yang mencicipi bubur buatan Neneng.

Misi Melestarikan Budaya Lewat Kuliner

Bubur Ase mungkin terdengar asing bagi sebagian besar warga Jakarta modern, namun justru di situlah pentingnya upaya pelestarian. Kuliner seperti ini tak sekadar mengisi perut, tetapi juga mengisi memori kolektif tentang sejarah, identitas, dan tradisi kota.

Di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi, keberadaan makanan tradisional seperti bubur Ase menjadi semacam perlawanan kecil terhadap pelupaan budaya.

“Saya cuma ingin makanan khas Betawi tetap dikenal, jangan sampai hilang. Kan ini warisan dari orang tua kita juga,” kata Neneng dengan penuh haru.

Tak hanya bubur Ase, Neneng juga menghadirkan makanan khas Betawi lain seperti biji ketapang, putu mayang, dan akar kelapa, yang semuanya merupakan bagian dari identitas kuliner ibu kota.

Dukungan UMKM dan Pemkot DKI Diperlukan

Keberadaan UMKM seperti Neneng sangat penting dalam menjaga kelestarian kuliner tradisional. Namun, pelestarian ini tidak bisa dibebankan sepenuhnya kepada individu. Dukungan dari pemerintah kota, lembaga kebudayaan, dan masyarakat luas sangat dibutuhkan agar kuliner-kuliner seperti bubur Ase dapat terus bertahan dan berkembang.

Perayaan ulang tahun Jakarta yang ke-498 tahun ini semestinya menjadi momen penting untuk mengangkat kembali kuliner-kuliner yang hampir punah. Festival kuliner, program pembinaan UMKM, hingga promosi melalui media sosial dan penyiaran bisa menjadi strategi untuk mengenalkan makanan seperti bubur Ase kepada generasi muda.

Apalagi di tengah meningkatnya tren wisata kuliner dan keingintahuan masyarakat terhadap makanan khas daerah, bubur Ase bisa menjadi ikon kuliner Betawi yang belum banyak dijamah pasar modern.

Bubur Ase dan Jakarta: Cita Rasa dari Masa Lalu untuk Masa Depan

Jakarta mungkin dikenal sebagai kota metropolitan modern dengan gedung pencakar langit dan pusat perbelanjaan mewah. Tapi di balik segala gemerlap itu, ada cerita kecil seperti milik Neneng dan bubur Ase-nya yang menyimpan sejarah panjang dan cita rasa yang tak lekang oleh waktu.

Dengan semakin dekatnya perayaan 500 tahun Jakarta pada 2027, pelestarian kuliner tradisional harus menjadi bagian dari narasi besar pembangunan kota. Bubur Ase bukan hanya soal makanan, tapi soal identitas, sejarah, dan warisan yang hidup.

Neneng adalah satu dari sedikit orang yang masih menyuarakan cerita itu lewat sepiring bubur. Dan seperti kata pepatah Betawi, “Enakan makanan, tapi lebih enak kalau ada yang terus jagain resepnya.”

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index