JAKARTA - Pasar minyak dunia masih bergerak datar di tengah kombinasi sentimen global yang beragam. Harga minyak mentah internasional pada akhir pekan lalu nyaris tidak mengalami perubahan signifikan, mencerminkan kehati-hatian pelaku pasar dalam merespons kabar ekonomi dari Amerika Serikat dan dinamika geopolitik di Eropa, termasuk sanksi baru terhadap Rusia.
Pada perdagangan Jumat, 18 Juli 2025, Brent crude terpantau turun tipis 0,3% dan ditutup di angka US$69,28 per barel. Sementara itu, West Texas Intermediate (WTI) juga turun 0,3% menjadi US$67,34 per barel.
Data Ekonomi AS Campur Aduk, Minyak Masih Wait and See
Kondisi pasar diwarnai oleh data ekonomi Amerika Serikat yang menunjukkan arah berlawanan. Penurunan signifikan terjadi pada pembangunan rumah tapak (single-family home) yang jatuh ke level terendah dalam hampir setahun terakhir pada Juni. Fenomena ini dipengaruhi oleh tingginya suku bunga hipotek serta ketidakpastian ekonomi, yang menyebabkan perlambatan dalam pembelian rumah. Kondisi ini turut mengindikasikan kemungkinan terjadinya kontraksi di sektor perumahan sepanjang kuartal kedua.
Namun, di sisi lain, optimisme tetap menyala. Laporan terpisah memperlihatkan bahwa sentimen konsumen AS membaik pada Juli. Selain itu, ekspektasi inflasi yang menurun memberikan harapan akan pelonggaran kebijakan moneter. Jika bank sentral menurunkan suku bunga, maka itu dapat merangsang pertumbuhan ekonomi lebih lanjut, yang pada akhirnya bisa mendorong permintaan minyak dunia.
Sanksi Eropa terhadap Rusia Belum Guncang Harga
Sementara itu, fokus lain pasar tertuju pada kebijakan geopolitik, khususnya terkait langkah terbaru Uni Eropa terhadap Rusia. Eropa secara resmi menyetujui paket sanksi ke-18 yang menargetkan industri energi Rusia, termasuk pelarangan impor semua produk minyak hasil olahan dari minyak mentah Rusia.
Namun, efek dari kebijakan ini terhadap harga minyak global terlihat masih terbatas. Para analis menilai bahwa langkah terbaru ini belum membawa dampak besar terhadap dinamika pasokan dunia.
“Reaksi pasar terhadap sanksi baru dari Amerika Serikat dan Uni Eropa terhadap minyak Rusia tergolong minim,” ujar Analis Capital Economics.
Ditegaskan pula bahwa pelarangan ini tidak berlaku terhadap negara-negara lain seperti Norwegia, Inggris, Amerika Serikat, Kanada, dan Swiss, yang masih dapat melakukan ekspor minyak ke kawasan Eropa.
“Hal ini mencerminkan keraguan investor bahwa Trump akan benar-benar menerapkan ancamannya, serta keyakinan bahwa sanksi Eropa tidak akan lebih efektif dari upaya sebelumnya,” imbuh analis tersebut.
Dengan kondisi global yang belum stabil sepenuhnya, pasar masih cenderung menahan diri. Kombinasi antara data ekonomi yang beragam, arah kebijakan suku bunga AS, serta sanksi Eropa terhadap Rusia akan terus menjadi penentu utama arah pergerakan harga minyak dalam waktu dekat.