Minyak

Harga Minyak Turun Tipis Karena Ketegangan Global

Harga Minyak Turun Tipis Karena Ketegangan Global
Harga Minyak Turun Tipis Karena Ketegangan Global

JAKARTA - Ketidakpastian hubungan dagang antara dua konsumen energi utama dunia, Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa, mulai memberi dampak terhadap pasar minyak global. Harga minyak mentah tercatat mengalami pelemahan tipis karena meningkatnya kekhawatiran pasar atas potensi penurunan konsumsi energi akibat perlambatan ekonomi global.

Pada perdagangan terakhir, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) turun sebesar 21 sen atau 0,31 persen dan berada di level US$66,99 per barel. Sementara itu, harga minyak mentah Brent juga ikut melemah 24 sen menjadi US$68,97 per barel, atau setara dengan penurunan 0,35 persen.

Harga kontrak minyak WTI untuk bulan Agustus diketahui akan kedaluwarsa pada Selasa. Di sisi lain, kontrak WTI untuk bulan September yang lebih aktif saat ini diperdagangkan di level US$65,72 per barel, mengalami penurunan 23 sen atau 0,35 persen.

Pasar minyak disebut kehilangan arah sejak adanya gencatan senjata antara Iran dan Israel yang diumumkan pada 24 Juni lalu. Perkembangan ini mengurangi ketegangan geopolitik di kawasan Timur Tengah yang selama ini menjadi perhatian utama pasar energi dunia karena potensi gangguan pasokan minyak.

Pasca gencatan senjata tersebut, harga minyak mentah Brent bergerak dalam rentang harga sempit sekitar US$5,19, sementara harga WTI berfluktuasi di kisaran US$5,65. Hal ini menunjukkan bahwa pasar mulai merespons berkurangnya risiko terhadap distribusi minyak di wilayah produsen utama.

Dukungan Dolar Melemah, Ancaman Tarif Meningkat

Meski demikian, pelemahan nilai tukar dolar AS turut memberikan sedikit dukungan terhadap harga minyak. Ketika nilai dolar AS turun, minyak yang diperdagangkan dalam mata uang tersebut menjadi lebih murah bagi pembeli yang menggunakan mata uang lain.

Namun, sentimen pasar masih dibayangi oleh konflik dagang antara AS dan Uni Eropa. Analis pasar dari IG, Tony Sycamore, menyebutkan bahwa dukungan dari pelemahan dolar tidak cukup kuat untuk mengimbangi kekhawatiran pelaku pasar terhadap efek perang dagang.

"Karena kekhawatiran perang dagang mengimbangi dukungan terhadap pelemahan dolar AS," ujar Tony Sycamore, seperti dilansir Selasa (22/7).

Menurut laporan Reuters, sengketa dagang antara Washington dan Brussels semakin memanas. Uni Eropa disebut tengah menyiapkan langkah balasan apabila kesepakatan dagang dengan AS tidak tercapai. Informasi ini mengacu pada pernyataan sejumlah diplomat Uni Eropa.

Pemerintah AS mengancam akan memberlakukan tarif sebesar 30 persen terhadap berbagai produk asal Uni Eropa mulai 1 Agustus, jika negosiasi gagal mencapai titik temu. Hal ini berisiko memperburuk hubungan dagang transatlantik dan memperlambat pertumbuhan ekonomi dua kawasan tersebut.

Sinyal Pasokan Global Menguat

Dari sisi pasokan, pasar juga mendapatkan sinyal peningkatan produksi global. Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dilaporkan telah menghentikan kebijakan pemangkasan produksi yang sebelumnya diterapkan untuk menjaga keseimbangan harga di pasar dunia.

Data terbaru dari Joint Organizations Data Initiative (JODI) menunjukkan bahwa ekspor minyak Arab Saudi pada Mei 2025 mencapai tingkat tertinggi dalam tiga bulan terakhir. Peningkatan ekspor ini memperkuat dugaan bahwa pasokan global menuju kondisi berlebih, yang dapat menekan harga lebih jauh bila permintaan tetap stagnan.

Dengan kombinasi dari meningkatnya suplai, berkurangnya risiko geopolitik, serta memburuknya ketegangan dagang antara negara konsumen utama, pasar minyak kini berada dalam posisi yang semakin rentan terhadap fluktuasi lebih lanjut.

Ketidakpastian ke depan juga membuat investor cenderung berhati-hati. Situasi global yang terus berubah menuntut pelaku pasar untuk lebih mencermati dinamika ekonomi dan politik internasional dalam mengambil keputusan investasi, termasuk di sektor energi.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index