JAKARTA - Ambisi pemerintah mendorong hilirisasi batubara menjadi Dimethyl Ether (DME) mulai menunjukkan arah, dengan diajukannya enam proyek strategis kepada investor nasional Danantara. Namun, pelaku industri menilai proyek ini masih menyisakan pekerjaan rumah besar, terutama soal kejelasan pasar.
Ketua Satgas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional yang juga menjabat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menyampaikan bahwa proyek hilirisasi DME ini masuk dalam bagian dari 18 proyek prioritas sektor minerba, dengan total nilai investasi mencapai Rp618,3 triliun atau setara US$38,63 miliar.
Dari total tersebut, enam proyek difokuskan pada konversi batubara menjadi DME dengan nilai investasi sekitar Rp164 triliun. Proyek-proyek tersebut tersebar di enam wilayah, yaitu Bulungan (Kalimantan Utara), Kutai Timur (Kalimantan Timur), Kota Baru (Kalimantan Selatan), Muara Enim, Pali, dan Banyuasin di Sumatera Selatan.
Bahlil menyatakan bahwa proyek-proyek ini telah berada dalam tahap pra studi kelayakan dan kini diserahkan kepada Danantara untuk ditindaklanjuti.
"Agenda hilirisasi sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam keputusan Presiden, kami ada sekitar 18 proyek yang sudah siap pra FS," ujarnya dalam agenda penyerahan dokumen di Kantor ESDM.
Pelaku Usaha: Niat Bagus, Tapi Pasar Belum Jelas
Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Hendra Sinadia, menilai inisiatif ini sebagai langkah positif. Namun ia menekankan bahwa hilirisasi batubara menjadi DME masih menghadapi tantangan besar dari sisi keekonomian proyek.
Menurut Hendra, teknologi gasifikasi yang diperlukan untuk mengubah batubara menjadi DME masih tergolong mahal. Hal ini akan berdampak langsung pada harga jual DME yang berpotensi lebih tinggi dibandingkan LPG yang saat ini digunakan masyarakat secara luas.
"Saya kira niatnya positif ya bahwa Danantara dan dukungan dari pemerintah, harapannya proyek ini bisa berjalan," katanya saat ditemui di Jakarta, Rabu (23/7).
“Jadi mungkin kendala faktor kelayakan ekonomi bisa diatasi dengan Danantara ikut terlibat,” tambahnya.
Lebih jauh, Hendra juga menyampaikan bahwa proyek ini bersifat jangka panjang, dan dampaknya baru akan terlihat dalam beberapa tahun ke depan. Ia memperkirakan jika pembangunan dimulai sekarang, maka manfaat nyata dari DME baru akan terasa sekitar tahun 2030.
“Proyeknya mungkin tiga sampai empat tahun lagi, kira-kira di 2030,” jelasnya.
Pasar Masih Tanda Tanya
Meski peluang pengurangan ketergantungan terhadap impor LPG sangat besar, Hendra menyoroti satu aspek krusial yang belum terjawab: siapa yang akan menyerap DME jika sudah diproduksi?
Menurutnya, hingga kini para pelaku tambang masih belum memiliki gambaran jelas mengenai pasar DME, baik dari sisi harga maupun permintaan. Ketidakpastian ini membuat investor ragu untuk terlibat lebih dalam.
“Kita menghasilkan DME, kita gak tau DME harganya bagaimana ya, dan itu kan proyeknya jangka panjang, jadi kita juga sama sekali bisa dikatakan blank, gak tau marketnya,” ujarnya jujur.
Ia berharap pemerintah bersama Danantara bisa segera menyusun peta jalan yang lebih konkret untuk menyelesaikan kendala tersebut. Dukungan yang dimaksud tidak hanya berupa investasi, tetapi juga dalam bentuk kepastian pasar dan skema penyerapan produk.
“Poin-poin itu kan harusnya sudah well taken by government, udah tau ya dan dipetakan. Apalagi Danantara kan banyak expert di situ,” tutup Hendra.
Dengan semua tantangan yang ada, pelaku usaha menilai langkah awal ini tetap patut diapresiasi. Namun mereka menekankan bahwa tanpa kejelasan pasar dan efisiensi biaya, proyek hilirisasi DME bisa berisiko menjadi beban, bukan solusi.