JAKARTA - Rencana ambisius pemerintah membangun proyek kilang minyak skala nasional dengan kapasitas 1 juta barel per hari menuai catatan penting dari pelaku industri. Meski bertujuan memperkuat ketahanan energi nasional dan menekan impor, proyek ini dinilai berpotensi menghasilkan harga BBM yang lebih mahal bagi masyarakat.
Salah satu faktor yang disoroti adalah desain proyek kilang ini yang terdiri dari fasilitas-fasilitas kecil (spot refinery) yang tersebar di banyak lokasi. Pendekatan ini, meskipun mendukung pemerataan pembangunan, bisa berdampak pada efisiensi produksi dan logistik.
Proyek Tersebar Dinilai Kurang Ekonomis
Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas), Moshe Rizal, menyatakan bahwa kilang skala kecil umumnya memiliki biaya produksi yang lebih tinggi dibandingkan kilang besar. Hal ini menurutnya bisa berdampak langsung pada harga jual BBM atau memperbesar beban subsidi pemerintah.
“Kilang berskala kecil biasanya dapat memproduksi BBM sekitar 50.000 hingga 100.000 barel per hari (bph). Biaya produksinya memang lebih murah dari kilang besar, tetapi tetap tidak bisa dibilang kecil,” ujar Moshe.
Ia menekankan bahwa jika biaya produksi per barel menjadi tinggi, maka imbasnya bisa dirasakan oleh masyarakat melalui harga jual BBM atau pembengkakan anggaran subsidi energi pemerintah.
“Kalau biayanya akhirnya tinggi per barelnya, itu kan ujung-ujungnya jadi memengaruhi either harga si BBM itu sendiri yang dijual ke masyarakat atau [anggaran] subsidi pemerintah,” jelasnya.
Moshe pun menyarankan agar pemerintah memperhitungkan dengan cermat lokasi pembangunan kilang serta infrastruktur pendukungnya, agar tidak menimbulkan inefisiensi yang berujung pada kerugian secara fiskal.
Selain soal skala, ia juga menyoroti sebaran lokasi kilang spot yang mayoritas berada di luar Jawa. Menurutnya, hal ini bisa menambah beban logistik, terutama karena sebagian besar konsumsi BBM masih terpusat di Pulau Jawa.
“Kalau misalkan BBM-nya dipukul rata semua harganya sama dengan yang di Jawa, mau enggak mau kan harus dikompensasi perbedaan biayanya oleh subsidi pemerintah. Nah, itu kan nanti pengaruhnya di situ,” tegas Moshe.
Namun demikian, ia mengapresiasi tujuan proyek ini yang menyasar pemerataan pembangunan energi nasional. “Sah-sah saja, bagus kalau memang membuat kilang ini atau kilang skala kecil di berbagai penjuru Indonesia, which is bagus. Cuma ya memang harus diperhatikan keekonomiannya,” tambahnya.
Pemerintah Tetap Lanjutkan Proyek
Di tengah sorotan tersebut, pemerintah menegaskan tetap akan melanjutkan proyek pembangunan kilang dan fasilitas penyimpanan minyak berkapasitas total 1 juta barel per hari. Proyek ini diproyeksikan menelan investasi sekitar Rp160 triliun dan akan didanai melalui kerja sama dengan pihak swasta seperti Danantara.
Proyek ini mencakup dua aspek utama, yaitu pembangunan kilang dan penyimpanan minyak (storage). Lokasinya tersebar di 18 titik di seluruh Indonesia, mulai dari Lhokseumawe, Sibolga, Natuna, Cilegon, hingga Fakfak.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia dalam penyerahan dokumen prastudi kelayakan proyek kepada BPI Danantara pada Selasa (22/7/2025), menegaskan bahwa rencana ini telah melewati berbagai kajian, termasuk studi banding di Angola oleh tim dari Kementerian ESDM, SKK Migas, dan Pertamina.
“Itu sudah ada dan akan kami diskusikan, termasuk kami akan membangun crude storage untuk ketahanan energi kita selama 21 hari dengan sinergi bersama Satgas dan Danantara,” ujar Bahlil.
Sebelumnya, pemerintah memang merevisi target kapasitas proyek ini. Awalnya, kapasitas hanya ditetapkan sebesar 500.000 barel per hari, tetapi kemudian ditingkatkan menjadi 1 juta barel per hari. Keputusan itu diambil dalam rapat terbatas bersama Presiden Prabowo Subianto pada Mei lalu.
“Rencana yang tadinya kita akan bangun kurang lebih sekitar 500.000 bph, karena kita impor sekitar 1 juta bph, [sehingga] tadi ada terjadi perubahan, akan kita banggun nanti kapasitasnya kumulatifnya 1 juta bph,” ungkap Bahlil saat itu.
Bahlil juga menegaskan bahwa perubahan strategi ini tidak hanya menyangkut kapasitas, tetapi juga pendekatan lokasi. Jika sebelumnya direncanakan hanya satu kilang besar, kini pemerintah mengusung konsep penyebaran kilang di berbagai wilayah, seperti Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
“Sehingga ini terjadi pemerataan,” tegasnya.
Pemerintah berharap proyek ini dapat memperkuat ketahanan energi nasional sekaligus menciptakan pemerataan infrastruktur energi. Namun tantangan utama ke depan adalah memastikan biaya produksi tetap efisien dan tidak membebani keuangan negara maupun konsumen.