Batubara

Industri Batubara Indonesia Tertekan Imbas Lesunya Smelter Nikel

Industri Batubara Indonesia Tertekan Imbas Lesunya Smelter Nikel
Industri Batubara Indonesia Tertekan Imbas Lesunya Smelter Nikel

JAKARTA - Industri batubara Indonesia menghadapi situasi sulit. Penurunan permintaan dari sektor smelter nikel yang mulai jenuh, bersamaan dengan merosotnya ekspor, membuat prospek bisnis komoditas energi ini terlihat suram.

Batubara selama ini menjadi salah satu penyumbang devisa ekspor terbesar, dengan nilai mencapai US$30,49 miliar pada 2024. Namun, tantangan yang dihadapi saat ini menekan kinerja perusahaan tambang dan berpotensi berdampak pada perekonomian nasional.

Permintaan Smelter Mencapai Puncak

Permintaan domestik batubara sebagian besar berasal dari smelter nikel yang membutuhkan pasokan listrik stabil. Menurut Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), konsumsi dari sektor ini akan mencapai puncak 84,2 juta ton pada 2026, lalu turun menjadi 78,6 juta ton pada 2027, seiring kelebihan kapasitas dan potensi penerapan regulasi emisi yang lebih ketat.

Industri smelter nikel sempat memacu pertumbuhan pesat pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) captive, yakni pembangkit khusus untuk kawasan industri. Kapasitas PLTU captive melonjak tiga kali lipat menjadi 16,6 gigawatt (GW) pada 2024, dari 5,5 GW pada 2019, berdasarkan data Global Energy Monitor.

Namun, harga nikel yang terus melemah akibat overkapasitas dan turunnya permintaan baja nirkarat dari China memicu penghentian produksi di beberapa smelter. Data Earth-i mencatat, pada Juni 2025 tingkat penghentian produksi nikel pig iron di Indonesia naik 9% dibandingkan tahun sebelumnya, tertinggi dalam dua tahun. Bahkan, Tsingshan Holdings produsen nikel terbesar di Indonesia—dilaporkan menghentikan operasi di pabrik joint venture di Kawasan Industri Morowali.

Ekspor Batubara Turun Tajam

Dari sisi ekspor, batubara Indonesia juga mengalami tekanan signifikan. Hingga Juni 2025, volume ekspor tercatat turun 12,6% year on year, menurut data Kpler. Sementara nilai ekspor hingga Mei 2025 anjlok 19,1%.

China, sebagai pembeli terbesar batubara Indonesia, memangkas impor hingga 30% pada Juni 2025 dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Negeri Tirai Bambu mengandalkan produksi domestik dan memilih memasok kebutuhan dari negara lain yang menawarkan batubara dengan kualitas lebih tinggi dan harga lebih murah.

“Para produsen batubara Indonesia kini mulai mendiversifikasi bisnisnya untuk mengantisipasi penurunan permintaan batubara kalori rendah hingga menengah,” ujar Manish Gupta, analis senior riset batubara termal Asia di Wood Mackenzie.

“Kami tidak memperkirakan pertumbuhan tambahan PLTU captive dari smelter nikel akan berlanjut seperti sebelumnya,” lanjutnya.

Prospek Industri dan Tantangan ke Depan

Wakil Ketua APBI H. Kristiono menegaskan bahwa kapasitas PLTU untuk smelter tetap akan tumbuh, namun dengan laju yang lebih lambat. Bahkan, kapasitasnya diperkirakan tetap bisa meningkat dua kali lipat hingga akhir dekade ini.

Batubara dinilai tetap menjadi sumber energi utama bagi industri nikel karena:

Sulitnya beralih ke energi alternatif di kawasan industri terpencil.

Minimnya koneksi dengan jaringan listrik nasional.

Resistensi terhadap aturan emisi yang lebih ketat.

Saat ini, sekitar 6 GW atau 46% dari total kapasitas PLTU yang sedang dibangun di Indonesia berlokasi di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara, dua pusat industri smelter nikel terbesar.

Namun, dengan margin keuntungan yang menyusut dan harga saham perusahaan tambang yang menurun, tekanan terhadap industri batubara bisa berujung pada pengurangan produksi, pemangkasan tenaga kerja, dan berkurangnya kontribusi terhadap penerimaan negara. Hal ini terjadi di saat pemerintah tengah menjalankan program belanja negara yang ambisius di bawah Presiden Prabowo Subianto.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index