Batu Bara

Batu Bara Masih Jadi Andalan, Teknologi Rendah Emisi Dipercepat

Batu Bara Masih Jadi Andalan, Teknologi Rendah Emisi Dipercepat
Batu Bara Masih Jadi Andalan, Teknologi Rendah Emisi Dipercepat

JAKARTA - Transisi energi di Indonesia menghadapi tantangan besar karena ketergantungan yang tinggi pada batu bara. Hingga kini, 67 persen pembangkit listrik masih mengandalkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara, menjadikannya penopang utama ketahanan energi nasional. Meski demikian, upaya efisiensi dan penerapan teknologi rendah emisi menjadi tuntutan yang tidak bisa ditunda.

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto, menegaskan bahwa penghapusan PLTU batu bara secara mendadak bukanlah langkah realistis. Menurutnya, yang perlu segera dilakukan adalah meminimalkan dampak emisi melalui teknologi seperti ultra-super critical dan carbon capture storage (CCS).

“Tidak realistis jika kita ingin langsung menghapus PLTU batu bara. Yang harus dilakukan adalah menekan emisinya dengan teknologi seperti ultra-super critical dan carbon capture storage (CCS),” ujar Sugeng.

Kebijakan DMO dan Hilirisasi Batu Bara

DPR berkomitmen mengawal kebijakan pemanfaatan batu bara secara efisien melalui program Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO). Sugeng menjelaskan, sebanyak 25 persen produksi batu bara wajib disalurkan untuk kebutuhan domestik dengan harga maksimal USD70 per ton.

Selain itu, hilirisasi batu bara juga menjadi fokus penting dalam mendukung transisi energi. Program hilirisasi mencakup gasifikasi batu bara menjadi dimetil eter (DME) sebagai bahan bakar alternatif, hingga pengembangan baterai kendaraan listrik berbasis grafit dari batu bara.

“Hilirisasi batu bara bisa menjadi sumber investasi baru sekaligus membantu mengurangi ketergantungan pada impor energi,” jelas Sugeng.

Pembangunan Kapasitas Listrik dan Penerapan Teknologi Bersih

Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034, pemerintah menargetkan penambahan kapasitas pembangkit hingga 69 gigawatt. Dari jumlah tersebut, 76 persen berasal dari energi terbarukan. Namun, di masa transisi, batu bara tetap memegang peranan penting untuk menjamin pasokan listrik yang stabil.

Sugeng juga menyoroti rendahnya konsumsi listrik per kapita Indonesia dibanding negara tetangga. “Kita baru mencapai 1.300 kWh per kapita, jauh di bawah Singapura dan Brunei yang sudah mencapai 9.000 kWh per kapita,” ungkapnya.

Karena itu, menurutnya, penggunaan batu bara masih dibutuhkan sembari mendorong percepatan penerapan teknologi rendah emisi secara bertahap. Dengan langkah ini, Indonesia dapat menjaga keamanan pasokan energi sekaligus menekan dampak lingkungan dari sektor ketenagalistrikan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index