JAKARTA — Pemerintah melalui Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Fahri Hamzah menyoroti masalah utama dalam penyediaan perumahan yang ada di Indonesia, yaitu harga tanah yang semakin mahal. Menurut Fahri, mahalnya harga tanah telah menghambat akses masyarakat terhadap hunian yang layak. Oleh karena itu, ia menyarankan pemerintah untuk memanfaatkan tanah negara yang belum terpakai untuk membangun rumah bagi rakyat.
Fahri menjelaskan bahwa harga tanah memakan porsi sekitar 30-40 persen dari harga jual rumah. Oleh karena itu, agar harga rumah dapat lebih terjangkau, harga tanah yang digunakan untuk pembangunan perumahan juga harus lebih murah. Menurutnya, pemerintah harus berperan dalam menyediakan tanah dengan harga yang terjangkau, sebagai bentuk subsidi untuk sektor perumahan.
Pemerintah Diharapkan Subsidi Tanah, Bukan Kredit Perbankan
“Tanah seharusnya mendapatkan subsidi daripada kredit perbankan. Subsidi perbankan saat ini bisa mencapai sekitar Rp 30 triliun setiap tahun. Tanah sebagai elemen subsidi yang harus diberikan oleh pemerintah. Begitu tanah sudah disediakan dengan harga yang terjangkau, maka pada sisi permintaan, kita bisa mengatur subsidi lebih lanjut,” ujar Fahri dalam acara 2nd Innovation Summit Southeast Asia yang diselenggarakan oleh Center for Market Education di Jakarta.
Fahri juga menekankan bahwa salah satu mandat terpenting yang terkandung dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 adalah soal pengelolaan dan distribusi tanah. Namun, menurutnya, sektor tanah telah dibiarkan menjadi mekanisme spekulatif yang semakin membuat harga tanah di kota-kota besar semakin melambung tinggi.
Spekulasi Tanah Membuat Harga Tanah Tidak Layak Dibangun Perumahan
“Akibatnya, orang-orang dari kota-kota besar datang ke desa-desa dan membeli tanah untuk tujuan investasi, sehingga harga tanah menjadi tidak layak untuk dibangun perumahan. Ini menyebabkan semakin sulitnya masyarakat untuk memiliki rumah yang terjangkau,” kata Fahri.
Lebih lanjut, Fahri menjelaskan bahwa spekulasi tanah ini membuat harga tanah semakin tidak terkendali, yang pada akhirnya berdampak pada tingginya harga rumah. Sebagai solusi, ia mengusulkan agar tanah negara yang belum termanfaatkan dimanfaatkan untuk menyediakan hunian yang layak dan terjangkau bagi rakyat.
Pentingnya Penyederhanaan Proses Perizinan untuk Perumahan
Di sisi lain, Wamen Fahri juga mengungkapkan pentingnya untuk menyederhanakan proses perizinan dalam sektor perumahan. Ia menilai bahwa saat ini terdapat banyak prosedur perizinan yang harus dilalui masyarakat, yang mengharuskan mereka mengurus berbagai izin dari berbagai instansi.
“Perizinan dan pembayaran untuk perumahan perlu didesentralisasikan dalam satu sistem yang lebih mudah. Saat ini, masyarakat harus mengunjungi berbagai institusi untuk mengurus berbagai izin. Ini sangat memakan waktu dan menghambat proses pembangunan perumahan,” tambah Fahri.
Dengan adanya sistem yang lebih terintegrasi dan efisien, diharapkan proses perizinan pembangunan perumahan bisa lebih cepat dan mudah, sehingga bisa lebih banyak rumah yang dibangun dengan biaya yang lebih rendah.
Pengembangan Lembaga Pemasaran Rumah Subsidi
Dalam kesempatan yang sama, Fahri juga menyoroti masalah lain yang berkaitan dengan pengembangan perumahan subsidi, yakni pemasaran rumah yang telah selesai dibangun. Ia menyarankan agar ada lembaga khusus yang membantu pengembang dalam memasarkan rumah subsidi setelah selesai dibangun. Menurutnya, pengembang tidak perlu khawatir soal pemasaran jika sudah ada lembaga yang membantu proses tersebut.
“Perusahaan konstruksi dan pengembang tidak perlu memikirkan pasar untuk perumahan subsidi masyarakat. Ini akan memudahkan mereka untuk fokus pada pembangunan rumah dan memastikan bahwa rumah subsidi bisa cepat sampai ke tangan masyarakat yang membutuhkan,” tuturnya.
Masalah Database Keluarga di Indonesia
Selain itu, Fahri juga mengungkapkan masalah lain yang berkaitan dengan data permintaan (demand) dalam sektor perumahan. Menurutnya, di Indonesia terdapat permasalahan terkait akurasi data jumlah keluarga yang membutuhkan rumah. Ia mengungkapkan bahwa beberapa institusi pemerintah mengumumkan data yang berbeda-beda mengenai jumlah keluarga yang membutuhkan rumah.
“Presiden telah mengeluarkan Instruksi Presiden tentang satu data yang harus digunakan oleh semua institusi. Namun, masih ada kekeliruan dalam beberapa institusi mengenai jumlah keluarga yang sebenarnya membutuhkan rumah. Cara menghitung jumlah keluarga yang membutuhkan perumahan juga belum terstandarisasi dengan baik,” jelas Fahri.
Untuk itu, Fahri berharap agar ke depannya ada pembenahan dalam pengumpulan data yang lebih akurat, agar kebijakan perumahan yang diambil bisa lebih tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Solusi Terpadu untuk Sektor Perumahan
Secara keseluruhan, Fahri mengajak semua pihak, baik pemerintah, pengembang, dan masyarakat, untuk bekerja sama dalam menciptakan solusi perumahan yang terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat. Menurutnya, sektor perumahan memerlukan pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif untuk menyelesaikan masalah harga tanah, perizinan, dan pemasaran perumahan subsidi.
Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan kebutuhan rumah bagi masyarakat Indonesia bisa terpenuhi dengan cara yang lebih efisien dan terjangkau, serta sesuai dengan prinsip keadilan sosial yang diamanatkan dalam UUD 1945.