JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kembali menegaskan komitmennya untuk memperkuat pasokan energi nasional melalui penambahan kapasitas pembangkit listrik tenaga fosil. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034, pemerintah merencanakan penambahan total kapasitas pembangkit listrik sebesar 16,6 gigawatt (GW) yang berasal dari sumber energi fosil, dengan rincian 10,3 GW berasal dari pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) dan 6,3 GW dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jisman P. Hutajulu, mengungkapkan bahwa dari total kapasitas 6,3 GW PLTU batu bara yang direncanakan, sebanyak 3,2 GW sudah memasuki tahap Commercial Operation Date (COD) pada tahun 2025. “Sebagian besar batu bara ini sudah COD di 2025, sekitar 3,2 gigawatt sudah beroperasi. Sebagian lainnya sedang dalam tahap konstruksi dan melanjutkan rencana yang sudah ada dalam RUPTL sebelumnya,” jelas Jisman dalam acara Diseminasi Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang digelar di kantor Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Jakarta.
Jisman menambahkan bahwa penambahan kapasitas pembangkit listrik berbasis energi fosil, khususnya batu bara, masih relevan dengan kondisi pasokan batu bara domestik yang masih cukup melimpah. “PLTU batu bara itu bukan barang haram. Batu bara banyak dihasilkan di Indonesia, bahkan kita ekspor. Yang perlu kita perhatikan adalah emisinya, supaya tidak berdampak buruk kepada masyarakat dan lingkungan global,” tegasnya.
Dalam pernyataannya, Jisman menggarisbawahi pentingnya pengelolaan emisi yang efektif agar penggunaan energi fosil dapat berjalan berkelanjutan. “Penggunaan energi fosil dengan bijak, termasuk pengendalian emisinya, harus menjadi fokus utama, bukan hanya sekadar jenis energi yang digunakan,” imbuhnya.
Lebih jauh, dalam RUPTL 2025-2034, pemerintah menargetkan penambahan kapasitas pembangkit listrik nasional sebesar 69,5 GW. Dari total target tersebut, mayoritas 61 persen atau setara 42,6 GW akan bersumber dari Energi Baru Terbarukan (EBT). Selain itu, 15 persen atau sekitar 10,3 GW dialokasikan untuk sistem penyimpanan energi (storage), sementara 24 persen sisanya, yaitu 16,6 GW, berasal dari pembangkit listrik berbasis bahan bakar fosil seperti gas dan batu bara.
Penambahan kapasitas batu bara menjadi bagian dari strategi pemerintah dalam menjaga ketahanan energi nasional di tengah transisi menuju energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan. “Walaupun fokus pemerintah adalah pada pengembangan EBT, saat ini ketersediaan energi baru terbarukan seperti tenaga surya dan angin masih terbatas dan tidak dapat sepenuhnya menggantikan energi fosil dalam waktu dekat,” ujar Jisman.
Kementerian ESDM terus mendorong upaya inovasi teknologi seperti penerapan teknologi ramah lingkungan dan pengendalian emisi pada PLTU batu bara agar dampak negatif terhadap lingkungan bisa diminimalisir. “Kami terus berupaya agar pembangkit listrik batu bara yang beroperasi memenuhi standar emisi yang ketat dan ramah lingkungan,” kata Jisman menutup pernyataannya.
Dengan penambahan kapasitas PLTU batu bara sebesar 6,3 GW hingga 2034, pemerintah menegaskan bahwa batu bara tetap menjadi salah satu pilar penting dalam bauran energi nasional selama masa transisi menuju sumber energi terbarukan. Pendekatan ini dinilai strategis demi menjamin ketersediaan listrik yang andal dan stabil untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.