JAKARTA - Di tengah tekanan harga bahan baku baterai yang terus menurun dan naiknya biaya produksi, PT Trimegah Bangun Persada Tbk. (NCKL) atau Harita Nickel menegaskan bahwa seluruh fasilitas pengolahan nikel berbasis teknologi high pressure acid leach (HPAL) miliknya tetap beroperasi secara maksimal.
Head of Investor Relations Harita Nickel, Lukito Gozali, mengungkapkan bahwa dua fasilitas HPAL milik perusahaan, yakni PT Halmahera Persada Lygend (HPL) dan PT Obi Nickel Cobalt (ONC), tetap menjalankan produksi mixed hydroxide precipitate (MHP) sesuai kapasitas yang telah dirancang.
“Seluruh fasilitas hidrometalurgi milik Harita Nickel, yaitu PT Halmahera Persada Lygend dan PT Obi Nickel Cobalt, saat ini beroperasi dalam kapasitas penuh,” kata Lukito.
Kedua fasilitas tersebut memiliki total kapasitas produksi sebesar 120.000 ton kandungan nikel dalam bentuk MHP per tahun.
Harga Sulfur Meningkat, Efisiensi Jadi Kunci
Meski kapasitas produksi berjalan penuh, tantangan tetap datang dari sisi biaya. Salah satunya adalah kenaikan harga sulfur yang digunakan sebagai bahan baku utama dalam proses pelindian bijih nikel limonit untuk menghasilkan MHP.
Lukito menjelaskan bahwa lonjakan harga sulfur cukup signifikan dan sangat berpengaruh terhadap struktur biaya produksi. Untuk mengatasi hal ini, Harita Nickel menjalankan efisiensi di seluruh rantai produksi dan menerapkan strategi pengadaan yang adaptif.
“Untuk itu, Harita Nickel secara konsisten menjalankan berbagai langkah efisiensi di seluruh rantai produksi serta menerapkan strategi pengadaan yang adaptif guna menjaga keberlanjutan operasional,” ujar Lukito.
Ia menambahkan bahwa dinamika harga sulfur sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal seperti kondisi geopolitik, kebijakan perdagangan, hingga fluktuasi pasokan dan permintaan global.
“Upaya optimalisasi ini merupakan bagian dari strategi berkelanjutan kami untuk menjaga stabilitas operasional, bahkan di tengah tekanan biaya produksi akibat fluktuasi harga komoditas,” tegasnya.
Meski tantangan biaya meningkat, fokus utama perusahaan adalah menjaga kelangsungan operasional secara optimal dalam jangka panjang.
Harga MHP Tertekan, Pasar Oversupplied
Tekanan lain datang dari sisi harga jual produk. Berdasarkan catatan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), harga MHP mengalami tren penurunan sepanjang 2025. Dari yang sebelumnya berada di kisaran US$18.000 per ton pada Januari, harga MHP kini menyentuh level sekitar US$14.000/ton pada awal Agustus.
Dewan Penasihat APNI, Djoko Widjajanto, mengatakan bahwa penurunan ini berkaitan erat dengan melandainya permintaan dari smelter HPAL. Pelaku industri disebut menjadi lebih hati-hati karena margin keuntungan yang semakin kecil.
“Faktor-faktor ini menciptakan lingkungan pasar oversupplied dan sentimen investor yang lemah,” kata Djoko, Rabu (6/8/2025).
Ia menjelaskan bahwa salah satu penyebab utama membanjirnya pasokan adalah ekspansi besar-besaran kapasitas smelter HPAL di Indonesia dan China. Hal ini membuat pasar MHP mengalami kelebihan pasokan yang signifikan.
Djoko memprediksi bahwa gross profit produk MHP turun dari sekitar US$10.000/ton pada 2023 menjadi US$7.000/ton pada 2024. Penurunan ini juga berdampak pada tingkat payability, yakni persentase harga acuan nikel LME yang digunakan sebagai dasar pembayaran kepada produsen MHP.
Tingkat payability kini disebut turun dari 80%—81% menjadi sekitar 77%, yang memberikan ruang koreksi harga di pasar lebih lanjut.
“Ekspansi kapasitas HPAL di Indonesia dan China terus meningkat pesat, menciptakan surplus pasokan mencolok hingga pertengahan 2025, yang menekan harga LME dan material terkait,” tegas Djoko.
Pasokan Terbatas, Harga Cenderung Stabil
Meski tekanan harga masih berlanjut, kondisi pasar mulai menunjukkan tanda-tanda stabilisasi. Data Shanghai Metals Market (SMM) menunjukkan bahwa harga free on board (FOB) MHP dari Indonesia memasuki Agustus berada di sekitar US$12.496/ton nikel, atau setara 83,5%–84% dari harga nikel di indeks SMM.
Dari sisi pasokan, SMM mencatat sirkulasi MHP di pasar saat ini relatif ketat. Beberapa trader melaporkan stok yang tersedia mulai menipis, dan sebagian smelter HPAL di Indonesia sudah menandatangani kontrak penjualan untuk kuartal IV meski volumenya masih kecil.
"Beberapa pemain hulu dan hilir telah menandatangani pesanan untuk MHP kuartal IV dalam jumlah kecil [dari smelter HPAL di Indonesia]," tulis SMM.
Permintaan juga mulai muncul kembali. Beberapa smelter HPAL tercatat telah mengajukan inquiry pekan lalu, walaupun minat beli secara umum masih lemah.
"Secara keseluruhan, penawaran dan permintaan pasar [bahan baku baterai nikel] tetap ketat, dan harga diperkirakan stabil dalam jangka pendek," lanjut laporan tersebut.
Sementara itu, harga nikel sulfat salah satu turunan dari MHP menurut SMM berada di kisaran 27.130 hingga 27.610 yuan per ton, dengan harga acuan 27.132 yuan per metrik ton. Harga ini terpantau relatif stabil meskipun kondisi pasokan disebut masih terbatas.