JAKARTA - Ekspor Indonesia tengah diuji keras oleh kebijakan dagang Amerika Serikat (AS) di bawah Presiden Donald Trump. Sejak Agustus 2025, tarif impor sebesar 32% untuk produk unggulan seperti kelapa sawit, tekstil, alas kaki, furnitur, dan karet membuat harga produk Indonesia di pasar AS melonjak tajam. Kondisi ini mengancam daya saing sekaligus memaksa pemerintah dan pelaku industri mencari cara baru agar roda ekspor tetap berputar.
Tekanan Berat bagi Kelapa Sawit
Kelapa sawit, komoditas andalan sekaligus penyumbang devisa terbesar Indonesia, menjadi sektor yang paling merasakan dampak kebijakan ini. Pada 2024, ekspor sawit Indonesia ke AS mencapai 2,2 juta ton dengan nilai devisa 2,9 miliar dolar AS. Lonjakan tarif hingga 32% membuat harga sawit Indonesia kalah bersaing dengan produk serupa dari negara pesaing seperti Malaysia.
Asosiasi petani dan industri sawit pun mengingatkan potensi penurunan pangsa pasar sebesar 15–20%. Efeknya bisa langsung dirasakan petani, mulai dari menurunnya pendapatan hingga berkurangnya kesempatan kerja di sektor perkebunan.
Namun, negosiasi dagang yang dilakukan pada pertengahan 2025 membawa sedikit kelegaan. Tarif impor sawit berhasil ditekan dari 32% menjadi 19%. Walaupun belum kembali normal, penurunan ini memberi ruang bernapas bagi eksportir. Kesepakatan itu diiringi komitmen Indonesia untuk membeli produk strategis AS, demi menjaga keseimbangan hubungan dagang.
Produk Unggulan Lain Ikut Terhantam
Bukan hanya sawit, sejumlah komoditas padat karya seperti tekstil, alas kaki, furnitur, karet, dan rempah-rempah juga terkena imbas. Tarif 32% yang sempat diberlakukan membuat harga jual di pasar AS melonjak, menekan daya saing dan mempersempit peluang kontrak baru.
Bagi industri seperti tekstil dan alas kaki, yang menyerap tenaga kerja besar, kondisi ini menjadi ancaman serius. Potensi penurunan ekspor dapat berujung pada pengurangan tenaga kerja dan menurunnya kesejahteraan pekerja sektor manufaktur. Turunnya tarif menjadi 19% memang memberi harapan, tetapi juga menuntut penyesuaian strategi bisnis, mulai dari efisiensi biaya hingga mencari pasar alternatif.
Langkah Taktis Pemerintah
Menghadapi tekanan tarif impor AS, pemerintah tidak tinggal diam. Beberapa langkah strategis yang mulai dijalankan meliputi:
Hilirisasi Industri
Dorongan untuk memproses bahan mentah menjadi produk bernilai tambah semakin kuat. Misalnya, kelapa sawit tidak hanya diekspor sebagai crude palm oil, tetapi diolah menjadi turunan seperti oleokimia dan biodiesel yang memiliki pasar lebih luas.
Diversifikasi Pasar Ekspor
Mengurangi ketergantungan pada pasar AS dan Tiongkok menjadi prioritas. Ekspansi dilakukan ke Uni Eropa, Asia Tenggara, Afrika, hingga Amerika Latin, agar risiko dari proteksionisme perdagangan dapat ditekan.
Negosiasi Dagang Intensif
Upaya diplomasi berhasil menurunkan tarif sawit, sekaligus menjaga hubungan bilateral. Pemerintah menempatkan pendekatan win-win sebagai kunci agar kedua pihak tetap diuntungkan.
Peningkatan Daya Saing dan Inovasi Produk
Kualitas produk terus ditingkatkan, termasuk melalui sertifikasi dan inovasi, seperti mengembangkan sawit ramah lingkungan yang diminati pasar global.
Menatap Tantangan Perdagangan Global
Situasi yang dihadapi Indonesia menjadi cerminan realitas perdagangan internasional yang semakin dinamis dan proteksionis. Meski penurunan tarif sawit menjadi titik terang, langkah adaptasi harus terus berjalan. Hilirisasi, diversifikasi, inovasi, dan diplomasi ekonomi akan menjadi senjata utama agar ekspor Indonesia tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang.
Jika strategi ini dijalankan konsisten, perekonomian nasional dapat tetap stabil, lapangan kerja terjaga, dan fondasi ekspor semakin kuat, meski diterpa gelombang kebijakan dagang yang tak menentu.